Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Demo, Musik dan Cinta
Bagi mereka, di muka bumi ini tak ada urusan lebih mulia, lebih menggairahkan, daripada demo. Dan demo
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Presiden Jokowi sendiri tidak setuju dengan semua RUU itu. Urusan kita tertuju mutlak dan fokus pada DPR.
Rakyat berteman pada Presiden Jokowi karena rakyat tidak buta, Pak Jokowi lah tempat terbaik bagi rakyat pada saat ini untuk bergantung. Beliau lah harapan Indonesia sekarang.
Tapi mengapa tiba-tiba muncul isu menyimpang, untuk mengancam posisi Presiden? Dalam demo di Sumatra Barat ada tokoh partai yang berteriak memprovokasi, beranikah mahasiswa menjatuhkan Presiden? Dan kontan kaum muda yang jiwanya murni dan agenda poltiknya murni ini berteriak mengingatkan agenda utama mereka.
“Kita hanya menuntu DPR. Kita menuntu tanggung jawab mereka. Tak ada agenda lain. Kita harus fokus pada agenda kita.”
Ada ancaman kasar lainnya. Di Jakarta ada yang berteriak agar Presiden turun, meniru Presiden Soeharto yang turun dalam demo 1998.
Mahasiswa tak menjawab tapi mereka pura-pura budek. Teriakan itu lenyap ditelan kelelahan para pendemo yang sadar mengenai perlunya mengabaikan bujukan palsu itu.
Peristiwa 1998 tidak sama dan tak boleh disama-samakan dengan peritiwa saat ini.
Demo tahun 1998 menjatuhkan tokoh koruptor besar-besaran dan tyran yang menakutkan.
Dan Presiden Jokowi, yang suara jiwanya sama dengan suara jiwa mahasiswa, apa urusannya disandingkan dengan musuh rakyat tahun 1998?
Ada pula teriakan tokoh lain, yang tak kalah kasarnya, mengenai ketidak-adilan. Pemerintah dituding tidak adil. Dan dia pun segera mengumpulkan orang-orang yang loyal kepadanya, untuk dijejali rentetan masalah dan solusinya.
Tapi semua itu tak berhubungan dengan pokok persoalan kita saat ini. Teriakannya merdu dan menggetarkan. Tapi kemerduan palsu dan getaran palsu bisa dibedakan dari yang otentik.
Mungkin mahahasiswa telah mencatat, semurni apa pun tujuan sebuah demo dan aspirasi politik di baliknya, banyak penumpang gelap yang siap mengacaukan keadaan. Tapi mahasiswa waspada.
Selebihnya, ada pula bujukan halus, untuk membelokkan tujuan demo. Ada pihak yang berteriak tentang betapa telah menyimpangnya agenda reformasi. Pemeringtah sekarang dipersalahkan karena persoalan ini.
Pemerintah didesak-desak untuk bertanggung jawab. Tapi suara ini lenyap bagai auman singa kelaparan di padang pasir. Tak seorang pun merespons kepalsuan suara politik ini.