Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
KH Imam Jazuli Wacanakan Kementerian Pesantren Dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf
Radikalisme dan fundamentalisme Islam semacam ini hanya bisa dihadapi oleh kaum santri dan tradisi pesantren.
Editor: Husein Sanusi
Pembentukan Kementerian Pesantren adalah simbol revitalisasi peran santri yang selama ini terpinggirkan sekali pun telah banyak berkontribusi pada negara.
Selain itu, ia juga bertugas mengembalikan jati diri dan identitas kebangsaan yang “dikorupsi” oleh radikalisme dan fundamentalisme ini.
Bangsa ini adalah bangsa yang adiluhung, adem ayem, tentrem toto raharjo. Islam di bumi Nusantara betul-betul berwajah rahmatan lil alamin.
Namun, identitas ini perlahan-lahan disamarkan, diselewengkan dan dihapus. Sehingga putra bangsa kita menjadi buta dan kalap.
Mereka limbung dan pada akhirnya jatuh ke dalam jebakan jaringan radikal yang pendanaannya melebihi anggaran pemerintah sendiri.
Putra-putri bangsa yang mulai kalap itu, mereka terbakar semangat seruan khilafah, menuduh NKRI sebagai negara kafir, Pancasila sebaga ideologi thaghut, dan UUD ’45 sebagai undang-undang Dajjal yang dinilai tidak mencerminkan syariat agama.
Di mata putra-putribangsa yang kalap macam itu, habis sudah jejak sejarah perjuangan orang-orang hebat di jaman lampau, foundingfathers bangsa ini.
Mengembalikan kesadaran putra-putri bangsa ini, yang terlanjur terpapar paham radikalisme, adalah tugas negara. Satu-satunya komunitas yang mengerti cara mengobati penyakit radakalisme dan fundamentalisme ini adalah komuntias pesantren, yakni kaum santri.
Namun, pengelolan pondok pesantren tidak bisa dipasrahkan hanya kepada setingkat direktorat saja, melainkan wewenangnya harus diberikan kepada lembaga setingkat kementerian.
Pembentukan Kementerian Pesantren akan berguna sekali dalam menyelamatkan putra-putri bangsa dari paham radikal.
Terlebih mengingat Kementerian Agama selama ini belum mampu memaksimalkan peran direktorat pendidikan pondok pesantren.
Hal itu terbukti, pondok pesantren tidak berdaya melawan arus pertumbuhan radikalisme yang memiliki suplai dana besar-besaran dari luar negeri.
Pemerintah dapat segera memisahkan direktorat pondok pesantren ini dari Kementerian Agama, dan memberinya “daya yang lebih besar”, sehingga ia menjelma menjadi Kementerian Pesantren.
Ketika negara telah memiliki kementerian tersendiri yang khusus menangani pesantren, maka pondok pesantren akan bertenaga dalam menghadapi bahaya radikalisme.