Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sepuluh Kelemahan Kesebelasan Nasional Indonesia (Bagian 3)
Para pemain kesebelasan Indonesia sebagai atlet “profesional” sangat memalukan. Ketahanan fisik mereka jauh dari standar minimal atlet.
Editor: Dewi Agustina
Oleh Wina Armada Sukardi
ADA 10 kelemahan kesebelasan Indonesia. Tanpa pembenahan kesepuluh kelemahan ini, tim Indonesia tidak bakal pernah berjaya.
Berikut 10 kelemahan kesebelasan Indonesia.
(3) Ketahanan Fisik Lemah
Kelemahan ketiga kesebelasan Indonesia, jelas-jelas terletak pada ketahanan fisik atau stamina pemain Indonesia teramat sangat rendah.
Para pemain kesebelasan Indonesia sebagai atlet “profesional” sangat memalukan. Ketahanan fisik mereka jauh dari standar minimal atlet.
Sebagai pemain sepak bola para pemain harus mampu bermain 120 menit, dengan perhitungan ada kemungkinan ada perpanjangan waktu setelah 2 X 45 menit, yaitu tambahan 2 X 15 menit, sehingga pemain harus mampu bertandingan total 120 menit setiap satu pertandingan.
Nah, pemain Indonesia, boro-boro bermain 120 menit, memasuki babak kedua saja, stamina pemain Indonesia sudah rontok.
Contohnya melawan Malaysia pada babak penyisihan yang sama, ketahanan fisik Indonesia terlihat hancur lebur.
Untuk mengejar bola saja, kaki mereka sudah sangat berat, apalagi untuk mengejar lawan.
Akibatnya ketika ada pemain Malaysia melakukan solon run, sudah tidak terkejar dan langsung membuka pertahanan Indonesia. Tentu saja: gol!
Baca: Sepuluh Kelemahan Kesebelasan Nasional Indonesia (Bagian 1)
Pemain depan lebih minta ampun lagi. Ketahanan fisik yang sudah tidak memenuhi standar membuat mereka kehilangan kecepatan dan kelicahan.
Jangankan rajin mencari peluang, sedangkan peluang yang sudah di depan mata saja tidak dapat dimanfaatkan optimal. Itulah sebabnya kesebelasan Indonesia tidak produktif.
Padahal sebagai penyerang mereka wajib mempunyai naluri “pembunuh” dengan memanfaatkan atau mengkonversikan kesempatan yang paling kecil pun, menjadi gol.
Seorang dokter spesialis sport mengatakan kepada saya, tatkala atlet sudah tidak memiliki stamina yang cukup lagi, sudah hampir pasti mereka bakal tampil seperti “orang bodoh.”
Makanya, kata dokter itu, tidak mengherankan kalau yang sudah tidak punya stanina yang cukup, pemain akan salah melakukan operan bahkan memberikan bola kepada lawan, ya seperti orang bodoh.
Kesadaran pribadi pemain Indonesia untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan fisik juga sangat rendah.
Untuk memenuhi latihan fisik yang “pas badrol” saja mereka sudah sering tidak antusias, konon lagi menambah porsi latihan secara pribadi agar memiliki kelebihan fisik pribadi.
Baca: Sepuluh Kelemahan Kesebelasan Nasional Indonesia (Bagian 2)
Jangankan seperti Ronaldo yang secara sukarela selalu menambah porsi latihan yang diberikan, dan hasilnya sampai usia 34 tahun Ronaldo masih punya stamina yang luar biasa, pemain Indonesia tak ada semangat menjaga fisiknya.
Jadinya, waktu bermain mereka keteteran. Alasan fisik pemain Indonesia melorot karena jadwal kompetisi klub, itu alasan omong kosong aja.
Justru harusnya keteraturan kompetensi sebaliknya akan mampu membuat daya tahan pemain terjaga. Sesungguhnya yang terjadi memang stamina pemain Indonesia bukanlah stamina standar altlet.
Padahal dalam ukuran internasional, standar fisik yang dibutuhkan lebih tinggi lagi. Konsukuensinya, jurang ketahanan fisik pemain Indonesia dengan pemain asing makin lebar aja dan buntut-buntutnya Indonesia mengalami kekalahan demi kekalahan.
Ke depan, kalau Indonesia mau memiliki kesebelasan yang tangguh, harus ada perubahan mendasar dan besar-besaran terhadap fisik pemain.
Kalau tidak perubahan signifikan, untuk menang saja susah, apalagi untuk menjadi juara, tinggal impian belaka.
Baca: Bikin Heboh Hadir ke Istana Ternyata Tanpa Undangan Jokowi, Ini Pengakuan Tetty Paruntu
Tanpa ketahanan fisik yang kuat, sehebat apapun strategi pelatih dan sedahsyat apapun dukungan penonton, tetap sia-sia. Tanpa memiliki stamina yang kuat, kita tidak dapat mengharapkan apapun dari kesebelasan nasional Indonesia.
(4) Pengaruh Biasa Main Kasar di Kompetisi Lokal
Perhatikan pemain Indonesia, sering terlihat kasat mata melakukan pelanggaran dan mendapat kartu kuning dari wasit, bahkan terkadang kartu merah.
Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan, untuk tidak mengatakan “budaya,” pemain Indonesia dalam kompetisi lokal.
Sudah biasa terjadi pada kompetisi klub-klub lokal, pemain kita tampil cenderung kasar, tetapi lantaran wasit takut kepada penonton dan panitia, pelanggaran itu dibiarkan saja.
Pelangggran sering terang-terang atau karena keisengan. Pada tingkat internasional hal ini tidak dapat ditoleransi, sehingga pemain Indonesia sering terkena kartu kuning, merah atau pinalti.
Tanpa sadar “tradisi” atau kebiasaan dalam kompetisi lokal yang sering melakukan perbuatan tercela akhirnya menjadi “habit,” dan terbawa pada pertandingan internasional. Walhasil pemain Indonesia sering diusir atau dihukum pinalti.
Sebenarnya, kesebelasan asing juga banyak melakukan permainan keras dan bankan kasar, dan sepintas tidak dihukum wasit.
Baca: Wali Kota Risma Sedang di Jakarta, Dipanggil Jokowi?
Kenapa? Mereka melakukannya dengan “trick” yang pas: tidak kelihatan mencolok di mata wasit dan dengan cara yang seolah-olah masih dalam koridor peraturan FIFA, sehingga perbuatan pemain asing itu menjadi abu-abu, pelanggaran atau bukan.
Sebaliknya pemain Indonesia melakukan pelanggaran itu terlihat jelas di penglihatan hakim atau bertentangan diametral dengan peraturan FIFA, karena pemain kita tidak begitu menguasuai peraturan.
Untuk membenahi perilaku pemain masional Indoensia, harus dimulai dengan pembenahan di kompetisi lokal. Sejak awal perlu dibangun budaya menghormati wasit dan penegakan peraturan dengan tegas.
Siapapun pemain yang kasar, harus dihukum. Pemain yang melawan wasit apalagi sampai memganiayai wasit, kenakan sanksi yang sangat berat.
Kalau mereka sampai memukul wasit, apapun alasannya, berikan sanksi maksimal: skors seumur hidup.
Pemain seperti ini tidak dapat dikasihani karena dia pun tidak mengasihani dirinya sendiri dengan perbuatan yang menghancurkan sportivitas dunia olah raga.
Baca: Gibran Rakabuming Pastikan Maju Pilkada Solo, Anak Sulung Jokowi Pasrahkan Bisnis Kuliner ke Kaesang
Selain itu hukuman yang “keras” juga sebagai sinyal kepada pemain lain, agar jangan mengulangi perbuatan semacam itu.
Selama ini sanksi yang diberikan sangat lemah dan tidak memberi efek jera baik untuk pemain yang melakukannya maupun untuk pemain lainnya.
Akibatnya, selalu saja terulang perbuatan semacam itu...(bersambung)