Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Membincangkan Benteng Islam Berkebudayaan

Dampak paling kentara dan dekat dengan kehidupan kita adalah praktik tasawuf Islam di Nusantara. Pada abad 14 Masehi

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Membincangkan Benteng Islam Berkebudayaan
Istimewa
KH Imam Jazuli menyampaikan sambutan di acara Haul KH Anas Sirajuddin 

Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A.*

Cita-cita mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin mudah dibincangkan, sulit penuh tantangan diamalkan. Sejak awal abad 18 Masehi, sosok teolog Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi batu sandungan besar terwujudnya praktik Islam berkebudayaan. Puncaknya yang paling terasa bagi umat muslim Nusantara, aliran Wahhabisme merencanakan pembongkaran kuburan Nabi Muhammad saw. Praktik ziarah kubur dianggap bid’ah khurafat.

Wahhabisme Islam masih tergolong lebih muda bila dibanding dengan aliran teologi abad 13 Masehi bentukan Ibnu Taimiyah al-Harrani. Puritanisasi Islam pada jaman itu menghajar habis-habisan aliran-aliran lain seperti Sufisme yang dituduh khurafat. Keberhasilan proyek puritanisasi ini dan dekonstruksi Islam Berkebudayaan, salah satunya, ditandai dengan matinya pemikiran tasawuf abad-abad selanjutnya.

Dampak paling kentara dan dekat dengan kehidupan kita adalah praktik tasawuf Islam di Nusantara. Pada abad 14 Masehi, Walisongo menjadi representasi Islam Berkebudayaan, tetapi tidak terlalu menunjukkan kemajuan di bidang pemikiran dibanding pencapaian tasawuf di Timur Tengah. Syeikh Siti Jenar, Syeikh Mutamakin, bahkan Hamzah Fansuri malah cenderung menonjolkan keserupaan dan kemiripan dibanding perbedaan mencolok.

Untungnya, Sufisme Nusantara walau gagal memberikan kontribusi pemikiran tetapi berhasil menerjemahkan ke dalam praktik. Islam mendarah daging dengan urat nadi kehidupan umat muslim. Cita-cita rahmatan lil alamin terbentuk di tangan praktik sufisme Nusantara. Islam ditampakkan berwajah lemah lembut, santun, moderat, apresiatif terhadap kebudayaan, termasuk nilai-nilai dan kearifan lokal. Islam melebur bersama adat-tradisi yang sudah ada.

Namun, nasib Islam Berkebudayaan di Nusantara, pada akhirnya, mengalami nasib tragis yang serupa dibanding apa yang sudah terjadi di Timur Tengah. Pada awal abad 19 Masehi, puritanisasi Islam juga muncul, ditandai dengan adanya Perang Padri di Sumatera. Kawasan Kerajaan Pagaruyung menjadi saksi historis paling berdarah, di mana Islam yang bercita-cita rahmatan lil alamin kalah telak dan dipukul mundur oleh Islam puritan.

Hari ini kita tidak perlu terlalu gumun, terkejut, atau bahkan meratapi takdir keberislaman umat kita. Sunatullah dan hukum sejarah tampaknya memang menakdirkan adanya perseteruan abadi antara Islam Berkebudayaan yang mencitakan rahmatan lil alamin dan Islam puritan. 

Berita Rekomendasi

Di hadapan generasi android ini, berbicara Islam Berkebudayaan kita cukup berbicara sosok-sosok seperti KH. Abdurrahman Wahid (mantan presiden), KH. Musthofa Bisri (budayawan), Muhammad Quraish Shihab (mufassir), dan lainnya. Mereka representasi-representasi keberislaman yang berorientasi pada rahmatan lil alamin. Namun, problemnya adalah mereka itu generasi lama. Bagaimana generasi penerus mereka?

KH. Prof. Said Aqiel Siradj, MA. adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2020. Beliau adalah figur publik yang aktif mengangkat tasawuf ke publik, baik sebagai wacana akademik maupun pendekatan metodologis dalam beragama.

Pertama, bagi Kiai Said, tasawuf adalah kritik sosial, sehingga apabila ada ketidakadilan, ketimpangan, penindasan, dan kekerasan maka tasawuf bisa menjadi kritik untuk mencari jawaban. Tasawuf juga bisa menampilkan Islam yang berjiwa pembebasan dengan lebih soft dan lembut.

Kedua, Kiai Said memperkenalkan konsep Islam Nusantara di tahun 2015, yang secara terminologi memang terbilang baru. Tetapi, secara esensial, Islam Nusantara tidak lain dan tidak bukan adalah Islam Berkebudayaan yang memimpikan wujud nyata rahmatan lil alamin, baik seperti yang dipraktikkan Walisongo maupun yang dikembangkan di dunia Islam sebelum jatuh tersungkur oleh teologi puritanisme.

Dalam kacamata penulis, figur publik seperti Kiai Said adalah benteng terakhir Islam Berkebudayaan. Islam yang sedang berjuang melahirkan peradaban ideal. Akhir-akhir ini, Kiai Said terlihat membawa organisasi NU menyuarakan Islam Perdamaian, sebagai wacana alternatif bagi persepsi masyarakat global yang memvonis Islam sebagai agama yang bengis, haus darah, rajin konflik, dan tekun angkat senjata.

Mendampingi pemerintah dan negara, Kiai Said terlihat rajin menginisiasi pendirian cabang-cabang Istimewa NU di seluruh dunia. Dengan kata lain, NU ingin bicara tentang wajah Islam Berkebudayaan yang bernaung di bawah spirit rahmatan lil alamin. Dengan begitu, NU menjadi jelas sebagai tameng terakhir Islam dalam menangkis serangan puritanisme.

Hal lain yang tak kalah penting adalah nasib Islam paska generasi Kiai Said Aqiel Siradj. Kaderisasi terus-menerus juga dibutuhkan demi mengakhiri perseteruan abadi antara Islam rahmatan lil alamin dan Islam puritan. Publik telah amat lelah melihat wacana keberagamaan penuh konflik yang tidak produktif. Perseteruan-perseteruan receh terjadi, dan mengulang-ulang apa yang sudah pernah berlalu dalam sejarah.

Fenomena viralnya ustad-ustad muda, yang turut serta menopang pilar-pilar bangunan Islam rahmatan lil alamin, merupakan perkara luar biasa. Sekedar contoh kecil, Gus Baha’ (Bahauddin Nursalim), Gus Muwafiq (Ahmad Muwafiq), Gus Miftah (Miftah Maulana Habiburrahman), dan gus-gus lain. Mereka berada di garda terdepan bila ustad-ustad puritan berbuat nakal dan coba-coba ngajak ribut secara teologis dan intelektual. Gus-gus muda ini sejalan dengan visi Islam rahmatan lil alamin yang dalam praktiknya bernama Islam Nusantara ala Kiai Said. Yaitu, Islam yang berkebudayaan.[]

*alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas