Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Desa Siluman: Sri Mulyani Vs Abdul Halim
Menurutnya, tidak ada desa fiktif, termasuk di Konawe. DD di sana, katanya, ada pertanggungjawabannya.
Editor: Hasanudin Aco
Dari hasil pemeriksaan, terdapat 23 desa tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah.
Lantas, bagaimana prosedur pembentukan sebuah desa?
Desa, menurut Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa,adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembentukan desa merupakan salah satu bentuk kegiatan penataan desa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Penataan desa tersebut terdiri dari pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status, dan penetapan desa.
Pembentukan desa merupakan tindakan mengadakan desa baru di luar desa yang ada.
Pembentukan desa dapat berupa pemekaran dari 1 desa menjadi 2 desa atau lebih, penggabungan bagian desa dari desa yang bersanding menjadi 1 desa; atau penggabungan beberapa desa menjadi 1 desa baru.
Pembentukan desa harus memenuhi syarat-syarat, yakni batas usia desa induk paling sedikit 5 tahun terhitung sejak pembentukan; jumlah penduduk, yaitu wilayah Jawa paling sedikit 6.000 jiwa atau 1.200 kepala keluarga; wilayah Bali paling sedikit 5.000 jiwa atau 1.000 kepala keluarga; wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 jiwa atau 800 kepala keluarga.
Lalu wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 jiwa atau 600 kepala keluarga;wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 jiwa atau 500 kepala keluarga; wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 jiwa atau 400 kepala keluarga; wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 jiwa atau 300 kepala keluarga; wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 jiwa atau 200 kepala keluarga; dan wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 jiwa atau 100 kepala keluarga.
Juga, wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah; sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat desa; memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang telah ditetapkan dalam peraturan bupati/ walikota; sarana dan prasarana bagi Pemerintahan desa dan pelayanan publik; dan tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat pemerintah desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bila demikian, mengapa wilayah fiktif atau wilayah yang hanya didiami beberapa gelintir orang bisa dibuat desa, dan mendapat DD pula? Bagaimana dengan DD yang sudah terlanjur dikucurkan?
Siapa yang harus bertanggung jawab? Mengapa pula Menteri Desa membantah? Inilah "PR" bagi pemerintah dan aparat penegak hukum, termasuk KPK.
Instruksi Presiden Joko Widodo sudah cukup tegas: tangkap penerima DD dari desa siluman, dan tangkap pula pembentuk desa siluman itu.
Lalu bagaimana dengan silang pendapat Menkeu Sri Mulyani versus Mendes Abdul Halim Iskandar soal desa siluman itu, apa memang ada pihak-pihak yang sengaja mengadu domba keduanya?
Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Ketua Komisi IV yang Kini Komisi V DPR RI, Penggagas Cikal Bakal Dana Desa sebesar Rp 250 juta per Desa di Kabupaten Tertinggal Sejak 2002.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.