Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Rendang Dari Padang, Buah Tangan Sang Jenderal
Dari kota Palu jalan darat hampir dua jam kemudian tiba di Desa Bolapopu Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi.
Editor: Hasanudin Aco
Catatan Egy Massadiah
TRIBUNNEWS.COM - Cobalah untuk tidak berpaling dari kenyataan ihwal bencana yang mendera negeri ini. Di musim hujan, akan marak berita banjir bandang dan longsor. Pada kemarau, akan marak berita kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan.
Belum lagi jika ditambah bencana seperti gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, dan sebagainya. Dus, bencana di Indonesia tak ubahnya "tradisi". Ia merupakan peristiwa berulang.
Hari ini kita berada di medio Desember, yang oleh BMKG diprediksi sudah memasuki musim penghujan.
Alih-alih waspada akan datangnya bahaya alam yang menyertai musim penghujan, masyarakat ada kalanya justru hanya fokus memperbaiki atap rumahnya yang bocor. Padahal akar masalahnya bukan pada "atap yang bocor".
Bencana banjir bandang atau longsor, umumnya datang tiba-tiba. Tak heran jika sering merenggut nyawa dan kerugian harta benda. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat dan Sulawesi Tengah.
Menyertai kunjungan Kepala BNPB Doni Monardo ke lokasi bencana, sungguh serasa teriris hati ini. Ada campuran geram dan sedih. Nagari yang sehari-hari tenang, mendadak dilanda kepanikan atas banjir bandang yang datang menerjang. Kampung pun terendam.
Warga mengungsi di dataran tinggi. Tidur di bawah tenda. Hidup seadanya. Derita dan sengsara adalah cerita sehari-hari. Tapi mari bersepakat melihat ke depan, segera memperbaiki perilaku.
Seperti Sabtu (14/12) siang, saat tiba di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi – Sulawesi Tengah. Jarum jam menunjuk pukul 11.00 Wita. Ketahuilah, kami bertolak dari Jakarta pukul 03.00 WIB menuju Palu.
Dari kota Palu jalan darat hampir dua jam kemudian tiba di Desa Bolapopu Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi.
Ketahuilah pula, sehari sebelumnya kami masih berada di Kabupaten Limapuluhkota dan Kabupaten Solok Selatan – Sumatera Barat. Kepala BNPB Letjen Doni Monardo yang semula akan melaksanakan sejumlah kegiatan selama tiga hari di tiga kabupaten di Sumatera Barat mulai Kamis 12 Des hingga hari Sabtu 14 Des 2019, mempercepat kepulangannya setelah mendengar berita banjir Bandang di Kab Sigi Sulawesi Tengah.
Untunglah, pada Kamis malam tanggal 12 Desember Kepala BNPB Doni Monardo telah bertatap muka dengan para pengungsi kemudian menyerahkan bantuan DSP 500 juta rupiah yang diterima Bupati Limapuluh Kota Irfendi Arbi disaksikan Wagub Sumbar Nasrul Arbit.
Kemudian pada13 Desember, usai menunaikan shalat Jumat, mantan Komandan Jenderal Kopassus itu juga meninjau sejumlah titik terdampak banjir dan juga menyerahkan bantuan DSP sebesar 500 juta rupiah bertempat di Mesjid Raya Alam Surambi Sungai Pagu Kab Solok Selatan. Bantuan tersebut diterima langsung Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria.
Dalam perjalanan dari Kabupaten 50 Kota menuju Solok Selatan, Sumbar, Doni dan rombongan sempat merasakan terjebak longsor yang menutup jalan di Nagari Surian.
Saat berhenti, dengan mata kepala sendiri Doni menyaksikan lereng lereng terjal gundul dan berubah fungsi menjadi lahan tanaman semusim. Tinggal menunggu waktu, pastilah banjir bandang akan menerjang.
Cari Akar Masalahnya
Sebenarnya tidak ada agenda Kepala BNPB Doni Monardo ke Sigi. Namun ketika melakukan kunjungan ke banjir bandang di Kabupaten Limapuluhkota dan Solok Selatan, pada Kamis 12 Desember malam, ia beroleh berita banjir bandang di Sigi Sulteng.
Sebagai mana instruksi Presiden Jokowi, BNPB sebagai institusi yang mewakili pemerintah pusat wajib segera hadir di lapangan terdampak bencana. Seketika Doni memutuskan, Jumat malam harus kembali ke Jakarta. Padahal, jadwal semestinya baru Sabtu sore.
Sebab Doni sudah berjanji kepada Walikota Pariaman untuk hadir dalam acara Hari Nusantara 2019 pada Sabtu pagi.
Berangkatlah rombongan Doni Monardo meninggalkan Padang kembali ke Jakarta. Sesampai di Jakarta, jam menunjuk pukul 23.15. Sementara, penerbangan ke Palu direncanakan pukul 03.00.
Akhirnya, Doni Monardo dan rombongan pun memilih tidak pulang ke rumah, dan transit di bandara menunggu hingga dinihari.
Nah, saat di Sumbar, Doni didampingi Wakil Gubernur Drs. H. Nasrul Abit gelar Datuk Malintang Panai. Wagub tahu, Doni mempercepat jadwal kepulangan ke Jakarta karena keesokan harinya langsung meninjau korban banjir bandang dan longsor di Sigi.
Saat itulah, Wagub Nasrul Abit bercerita kejadian gempa, tsunami, dan likuifaksi di Palu tahun lalu. Nasrul membawa 1.000 kg rendang ke Palu dan dibagi-bagikan kepada para pengungsi.
Sumbangan itu sekaligus menunjukan rasa empati yang dalam kepada Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola yang daerahnya tengah tertimpa musibah. Tapi tentu rendang yang diboyong ke Palu ini, sama sekali tak ada kaitannya kalau kebetulan, istri Gubernur Sulteng juga berasal dari Minang.
Doni mendengarkan kisah itu, dan spontan memesan rendang untuk buah tangan ke Sigi keesokan harinya.
Tak pelak, Doni bisa merasakan, betapa senang warga pengungsi demi mendapatkan kiriman rendang. Maklumlah, mereka hidup dalam tenda darurat dengan menu jamak mie instan.
Demi terangkutnya bingkisan rendang sebanyak 260 kg, semua anggota rombongan diminta menenteng koper masing masing masuk kabin pesawat. Alhamdulillah, rendang terangkut aman dalam bagasi tanpa biaya tambahan over weight.
Nah, kembali ke soal musibah di Sigi. Doni dengan ekspresi yang sangat-sangat serius mengajak masyarakat dan aparat terkait untuk meningkatkan kesiapsiagaan.
Waspada bencana harus menjadi mentalitas bangsa Indonesia, termasuk warga Sigi. Karena negara kita memang rawan bencana, dan akan mengalami tragedi musibah yang berulang. Tinggal menunggu waktu, kecuali ada perubahan perilaku total, tidak menebang pohon dan mulai menanam pohon baru.
Doni benar. Sebab, kejadian banjir bandang dan longsor di Sigi, ternyata juga bencana berulang. Kejadian serupa terjadi tahun 2011, di tempat yang sama. Ketika itu bahkan menelan tujuh korban jiwa.
Sedangkan kejadian terakhir, dua orang meninggal. Gubernur Longki bahkan mengungkapkan salah satu korban meninggal ini masih kerabat dekat dengan korban meninggal tahun 2011.
Tak hanya menyerukan kewaspadaan, Doni bahkan menyiapkan dana Rp 2 miliar untuk program vegetasi. Dana itu diperuntukkan pembuatan bibit bagi penghijauan kembali lereng-lereng yang botak. Di lokasi banjir, Doni juga menyerahkan dana DSP sebesar 500 juta rupiah yang diterima langsung Bupati Sigi Irwan Lapata.
Sungguh benar. Sepanjang perjalanan dari Palu ke Sigi, Doni melihat dengan mata-kepala sendiri, betapa banyak kerusakan alam terjadi.
Pohon-pohon ditebang tanpa ada penanaman pohon baru. Apa yang akan terjadi di kemudian hari kalau bukan longsor?
Lebih miris perasaan Doni Monardo demi melihat langsung ke lokasi banjir bandang. Di sana, ia mendapati rongsokan sampah gelondongan kayu ukuran besar yang terbawa banjir bandang dan menerjang perumahan penduduk.
Yang membuat mata tertegun adalah, sebagian besar kayu-kayu yang tersapu banjir itu dalam bentuk potongan rapi. Hanya sedikit dahan dan batang pohon utuh.
Kesimpulannya, di atas sana terjadi penebangan pohon secara liar (illegal logging).
Tampak Doni menahan geram demi melihat kejadian di depan matanya. Doni menyerukan perlunya kesadaran kolektif untuk mengubah perilaku. Kesadaran kolektif yang bersumber dari hati.
"Percuma bicara penegakan hukum untuk illegal logging kalau bukan berangkat dari kesadaran masyarakat. Bisa-bisa, penegakan hukum illegal logging hanya akan membuat penjara penuh, tetapi tidak mengubah apa pun di lapangan," tegas Doni.
Peringatan serupa juga Doni juga ungkapkan di Sumbar. Sebagai putra Minang, Doni bahkan menyitir filosofi masyarakat Minang,
“Alam takambang jadi guru”, yang artinya kira-kira ”jadikan alam sebagai guru, alam sebagai sumber ilmu“. Nenek moyang bangsa Minang jelas menjadikan alam sebagai guru.
Mestinya, terpatri tradisi untuk tetap senantiasa belajar dari alam. Filosofi leluhur yang menjadi kearifan lokal harus dijaga oleh para ninik-mamak, cediak pandai, dan alim ulama, yang dalam istilah adat disebut “tigo tungku sajarangan”. Ketiganya harus dilibatkan, mengambil peran aktif dalam proses bermasyarakat.
Didepan tokoh tokoh adat dan agama Doni mengingatkan, bahwa di dalam gen orang Minang ada tradisi kental yakni bakatnya berdagang, merantau.
"Orang Minang itu berdagang. Bukan menjadi panambang liar dan perusak alam. Kasus-kasus kebencanaan alam di Sumatera Barat lebih banyak karena ulah manusia. Baik berupa alih fungsi lahan, penambangan liar, illegal logging, dan lain sebagainya," kata Doni mengkritik "sanak saudaranya".
Pesan Doni di Sumatera Barat, disampaikan pula kepada masyarakat di Sigi, Sulawesi Tengah. Jika tidak ingin banjir bandang dan longsong terulang, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan penanaman di lahan gundul.
Alam tak bisa dilawan hanya dengan teknologi, infrastruktur. Tapi gabungan keduanya. Teknologi dan infrastruktur memiliki batas usia pakai, dan dikemudian hari justru makin rapuh. Adapun pohon justru akan semakin kuat dan kokoh.
Di dua provinsi itu, Doni menegaskan, perusakan lingkungan harus dihentikan. Manfaat yang didapat, hampir bisa dipastikan, tidak pernah sebanding dengan musibah dan penderitaan yang disandang kemudian.
Uang negara hanya menggelontor ludes, berapapun jumlah.
Karenanya, gerakan vegetasi, penanaman pohon, reboisasi, reforestasi harus digencarkan mulai dari sekarang juga.
Tanam jenis tanaman yang cocok, seperti pohon sukun, aren, sagu, dll yang mampu menahan erosi dan punya kemampuan menahan air. Yang jelas, bukan jenis tanaman semusim seperti sayur mayur, kentang dan wortel.
Lebih dari segalanya, para pejabat, pemuka adat, tokoh masyarakat, alim-ulama dan tokoh agama, para guru harus terus-menerus mengingatkan masyarakat ihwal pentingnya kita menjaga alam, agar alam menjaga kita.
Berulang kali pula Doni Monardo menegaskan, bahwa bencana itu bukan urusan orang per orang. Bencana adalah urusan kita bersama. Itu yang dimaksud Doni: pentingnya kesadaran kolektif yang bersumber dari hati yang paling dalam. (*)