Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ancaman Diskriminasi Terhadap Umat Islam di India
Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi sendiri mengklaim UU ini akan memberi perlindungan bagi kaum minoritas yang mengalami persekusi agama.
Editor: Rachmat Hidayat
Saya sendiri bukan orang yang menganggap populisme berseberangan dengan demokrasi. Gelombang populisme menurut saya muncul sebagai kritik terhadap “elitisme”.
Dalam satu segi populisme justru sangat demokratis, karena mengekspresikan kedaulatan rakyat, terlepas dari muatan isu atau kepentingan yang melatarinya. Namun, sebagaimana yang kita lihat dari konteks politik India hari ini, populisme sendiri harus diberi catatan.
Kita harus menyadari bahwa demokrasi memiliki nilai-nilai bawaan yang juga harus dirawat. Selain “kedaulatan rakyat”, demokrasi juga memiliki nilai bawaan berupa “kesetaraan”.
Populisme secara umum mungkin kompatibel dengan semangat keadaulatan rakyat. Namun, jika melabrak semangat kesetaraan, populisme jelas perlu diberi catatan atau dikoreksi.
Dalam konteks UU CAB, pada dasarnya UU tersebut mengandung semangat melindungi minoritas, karena meringankan syarat bagi kelompok imigran untuk mendapatkan kewarganegaraan India.
Jika dalam UU Kewarganeraan yang lama, syarat imigran untuk melamar menjadi warga negara India harus tinggal di India sekurangya 11 tahun, dengan UU amandemen ini persyaratan dipersingkat hanya enam tahun.
Tapi, problemnya syarat tersebut hanya berlaku bagi enam komunitas agama tertentu saja, dan tidak berlaku bagi mereka yang beragama Islam. Di sinilah letak diskriminatifnya. Tidak ada unsur kesetaraan dalam UU tersebut.
Sehingga, meskipun mengandung semangat melindungi minoritas, di sisi lain UU Kewarganegaraan India ini jadi bersifat diskriminatif. Sebab, UU ini mengabaikan fakta kelompok minoritas yang bisa mengalami tindak persekusi bukan hanya terbatas pada penganut agama-agama lain, tapi juga terjadi pada komunistas Muslim di sekitar India.
Seperti kelompok imigran Ahmadiyah yang berasal dari Pakistan, atau Rohingya yang berasal dari Myanmar, adalah kelompok minoritas keagamaan yang mengalami persekusi di negaranya.
Saya berharap Pemerintah Indonesia, ikut menyuarakan aspirasi umat Islam Indonesia yang prihatin dengan politik diskriminasi yang mengancam saudara-saudara Muslim di berbagai negara termasuk di India.
Sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia, dan baru terpilih sebagai Anggota Dewan HAM PBB, Indonesia memiliki kapasitas untuk turut merespon situasi yang terjadi di India hari ini. Bahkan situasi yang dialami muslim di Palestina, Rohingya, Uighur dan lain-lain.
Secara bilateral, sebagai sesama negara demokrasi terbesar di dunia, pemerintah Indonesia bisa membangun proses dialogis dengan pemerintah India. Kedekatan kedua negara sangat memungkinkan membahas isu yang sangat sensitif tersebut secara lebih terbuka.
Apalagi konon Presiden Joko Widodo dikenal cukup dekat dengan Perdana Menteri Narendra Modi. Hubungan baik tersebut seharusnya dimanfaatkan.
Secara multilateral, Indonesia juga dapat mengoptimalkan perannya saat ini sebagai Anggota Dewan HAM PBB. Apalagi Kantor PBB untuk HAM (OHCHR) juga sudah menyatakan keprihatinannya.