Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Makna Harga Mati untuk Kedaulatan di Natuna

Lebih jauh lagi, tahun 1293 M., invasi Kekaisaran Tiongkok-Mongol di bawah Dinasti Yuan juga tumbang di Tanah Jawa

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Makna Harga Mati untuk Kedaulatan di Natuna
Pesantren Bina Insan Mulia/Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Makna Harga Mati untuk Kedaulatan di Natuna

Oleh : KH. Imam Jazuli, Lc.,M.A*

Membangun peradaban berdasar pada perebutan sumber daya alam dan materialisme pasti berujung pada pertumpahan darah. Tahun 1740 M., Indonesia menyaksikan seluruh etnis China dibantai di Batavia. Peristiwa sejarah bernama Geger Pecinan itu adalah efek samping dari rebutan sumber ekonomi.

Lebih jauh lagi, tahun 1293 M., invasi Kekaisaran Tiongkok-Mongol di bawah Dinasti Yuan juga tumbang di Tanah Jawa, sekaligus penanda berdirinya Majapahit. Kebesaran Kubilai Khan yang terlalu congkak dengan kekuatan militernya dipaksa bertekuk lutut. Sehingga tidak salah sejarawan menarik benang merah hubungan Geger Pecinan dan peristiwa kehancuran Kubilai Khan ini.

Sejarah masa lampau ini menjadi pelajaran penting. Sekali pun kekuatan militer Mongol jauh lebih kuat, dan ekonomi Etnis Tionghoa jauh lebih baik dari pribumi, mereka tetap kalah di Nusantara. Sejarah semacam itu tidak tertutup kemungkinan kembali terulang di zaman sekarang. Rakyat dan bangsa ini tidak pernah gentar terhadap segala gertakan pihak luar.

Di Abad 21 sekarang, politik internasional China sedang naik daun. Xi Jinping menarget kesetaraan dengan Amerika di tahun 2028-2030, setidaknya dalam bidang militer dan ekonomi. Otomatis rasa percaya diri negeri tirai bambu itu meninggi. Terlebih, di kancah politik internasional, Rusia dan China memiliki kedekatan emosional dalam melawan hegemoni Amerika.

Rasa percaya diri berlebihan tersebut menjadi alasan paling rasional Republik Rakyat Tiongkok/China (RRT) berani melawan keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS). Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, mengatakan bahwa China punya hak di perairan Natuna.

Berita Rekomendasi

Berdebat soal siapa paling berhak atas perairan Natuna, dengan standar ukuran UNCLOS, menjadi kurang relevan. Tidak mungkin membicarakan suatu perkara dengan ukuran timbangan yang berbeda. Ditambah lagi, jika menimbang kekuatan militer, ekonomi dan politik internasional antara China dan Indonesia sudah tidak seimbang sejak awal.

Sementara di sisi lain, timbangan apa pun yang bersifat materialistis (ekonomi, politik, militer) selalu berakhir pada pertumpahan darah (Geger Pecinan dan kehancuran pasukan Kubilai Khan). Apalagi China hari ini berada pada puncak prestasinya, terbukti Perang Dagang melawan Amerika berakhir seri.

Penulis mengapresiasi ketegasan PBNU mengeluarkan maklumat tertanggal 6 Januari 2020. Aura nasionalisme PBNU dalam mengeluarkan maklumat jauh lebih kental dibanding Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, yang kesannya ciut karena kalah alutsista militernya. Bahkan, Menhan kalah tegas dibanding Menlu, Retno Marsudi, yang mengemukakan empat argumen dalam menolak klaim China.

Dalam konteks kedaulatan, Menhan harus banyak belajar pada PBNU, yang terang-terangan memperingati pemerintah RRT untuk tidak bermain-main dengan kedaulatan NKRI. Menhan lupa bangsa ini punya sejarah menghadapi China. Karenanya, maklumat ini harus ditafsiri sebagai penerjemahan para kiai dan santri Nahdliyyin terhadap strategi militer Islam di zaman Rasulullah saw., seperti tercantum dalam Piagam Madinah.

Piagam Madinah mengajarkan, apabila kedaulatan sebuah bangsa (Negara Madinah) diserang maka harganya adalah nyawa.  Kala itu invasi militer dilakukan oleh kafir Quraisy, dan umat muslim memilih bertahan di dalam benteng Madinah. Hal serupa pernah dilakukan oleh para raja Nusantara, yang menanti pasukan Kubilai Khan menginjakkan kaki mereka di bumi Jawa.

RRT sebagai negara komunis memang tidak mengerti nilai religius-spiritual. Kebijakan politik internasional mereka adalah materialisme. Tidak salah apabila Geger Pecinan, menurut Benny G. Setiono (2008), juga disebabkan oleh peningkatan kesejahteraan ekonomi dan membeludaknya pendatang etnis Tionghoa.

Nalar materialistis serupa tercermin pada pikiran Geng Shuang (Jubir Kemlu China). Lontaran-lontaran kalimat politisnya berorientasi hanya pada keinginan mencari ikan dan menguasai lautan. Untuk itulah, Maklumat PBNU tertanggal 2/2/2020 ini menjadi tugu peringatan bagi RRT tentang arti sejarah masa lalu, makna kedaulatan bagi Republik Indonesia, dan harga mati yang kami pasang.

Sudah lebih dari setengah milenium, sejak Eropa datang pertama kali, bangsa Indonesia belajar arti penjajahan atas kedaulatan. Menderita dan berkorban nyawa untuk kemerdekaan. Karenanya, memasang harga mati untuk kedaulatan NKRI dalam maklumat PBNU tidak diragukan lagi.

Penulis menyadari, berbicara nilai-nilai spiritual-religius kepada sebuah negara komunis adalah tindakan sia-sia. Sementara di sisi lain, UNCLOS sebagai standar ukuran hidup bersama sebagai komunitas internasional “tidak berlaku” di mata RRT. UNCLOS tidak bisa diandalkan sepenuhnya karena dinilai tidak sah menurut China.

Ketika UNCLOS tidak sah di mata China, maka dunia internasional harus memaknai bahwa maklumat PBNU ini merupakan penegasan ulang makna gerakan politik Non-blok. Perlawanan terhadap RRT bukan berarti afiliasi RI kepada Amerika sebagai musuh bebuyutan China. Begitu pula, perlawanan terhadap RRT bukan seruan perang kepada Rusia cs., atau negara-negara afiliasi China dalam memerangi kebijakan Amerika.

Maklumat PBNU ini patut diapresiasi, karena membangkitkan lagi spirit perjuangan yang digali dari peristiwa Resolusi Jihad tahun 1945. Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari menyerukan wajib jihad kepada seluruh kiai dan santri di saentero negeri untuk membela tumpah darah mereka. Membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa adalah fardhu ‘ain, dan mati karenanya adalah syahid.

*Penulis adalah Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas