Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Banjir Awal Tahun, Anies Vs Undang-undang
Ketika banjir besar merendam Ibukota Jakarta dan sekitarnya awal tahun 2020, seketika rasa panik menyerang.
Editor: Hasanudin Aco
Menjadi ironis, ketika Gubernur Anies menolak menetapkan status bencana. Sebab, itu artinya ia langsung-tak-langsung menabrak Undang-undang.
Tulisan ini jelas tidak dimaksudkan untuk memperkeruh keadaan. Sebaliknya, masyarakat –dan juga pejabat—harus disadarkan. Kepentingannya, bisa jadi bukan untuk hari ini, tetapi untuk hari-hari mendatang. Bukankah bencana bisa datang kapan saja?
Bahkan, sekalipun penolakan penerapan status bencana datang dari Anies Baswedan, tetapi perspektif yang hendak disajikan dalam tulisan ini, bukan semata-mata ditujukan kepada Gubernur Anies.
Semua pihak, tanpa kecuali, harus melihat bencana dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Di UU 24/2007 itu termaktub prinsip-prinsip dan tata cara penyelenggaraan penanggulangan bencana. Termasuk penentuan status bencana, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari urutan kegiatan yang harus diselenggarakan pemerintah (termasuk pemerintah daerah), saat terjadi bencana.
Penentuan status bencana itu, lebih lanjut, akan memudahkan akses bagi BNPB/BPBD maupun bagi semua stakeholders yang dikoordinir oleh BNPB / BPBD dalam bertindak. Pasal demi pasal dalam UU 24/2007 telah mengatur dengan jelas.
Dalam konteks sistem administrasi negara, penetapan status bencana merupakan bagian dari sistem administrasi negara. Kepala Daerah maupun semua stakeholders yang terlibat dalam sistem administrasi negara, memerlukan penetapan status bencana tersebut.
Bagi pengusaha UKM misalnya, status bencana bisa digunakan untuk rescheduling kreditnya.
Sedangkan, bagi perusahaan asuransi maupun bagi masyarakat atau pengusaha yang berurusan dengan legal aspect kegiatan publik, penetapan status bencana juga penting. Sebab, bisa jadi bencana tadi mengakibatkan terganggunya pekerjaan kontraktor yang mengakibatkan keterlambatan.
Sedangkan, keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, bisa mengakibatkan banyak konsekuensi, mulai dari administrasi sampai ke aspek hukum.
Dengan tidak adanya status bencana, maka ganti rugi atas kerugian yang –mungkin-- terjadi , bisa saja tidak diberlakukan oleh instansi terkait.
Pada akhirnya akan merugikan banyak pihak. Nah, persoalan ini yang barangkali belum atau tidak diketahui oleh banyak pihak, termasuk –bisa jadi—Gubernur Anies Baswedan.
Jadi intinya , penetapan status bencana adalah bagian dari kelancaran sistem administrasi negara di semua level dan di semua sektor yang membutuhkan. Untuk itu, para kepala daerah perlu diberikan pemahaman tentang hal ini, karena banyak yang belum paham.
Penetapan status bencana, tidak hanya melulu bicara tentang Biaya Tak Terduga (BTT), tetapi sungguh banyak aspek lain yang terkait.