Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kuda Troya Itu Bernama Firli Bahuri?
Kini, jangan berharap KPK akan banyak melakukan operasi tangkap tangan yang merupakan buah dari penyadapan.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Setelah 10 tahun mengepung kota Troya, kini Turki, tentara Yunani frustrasi.
Lalu mereka ciptakanlah tipu muslihat dengan membuat kuda kayu raksasa.
Perut kuda itu kemudian diisi sejumlah tentara, lalu ditinggalkanlah kuda itu di depan gerbang kota.
Tentara Troya kemudian menarik kuda itu ke dalam, dan pada malam hari tentara Yunani yang sembunyi di perut kuda membuka pintu gerbang, menyelundupkan pasukan Yunani untuk menghancurkan kota Troya.
Kisah dalam puisi epos “Aeneid” karya penyair Romawi, Virgil (abad pertama SM), dan buku “Odyssey” karya Homer (725 SM) itu kini analog dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Benarkah kuda Troya itu bernama Firli Bahuri?
Mungkin karena frustrasi tidak bisa melawan KPK, legislatif dan eksekutif "bersekongkol" menciptakan kuda Troya untuk menghancurkan KPK dari dalam dan Firli Bahuri diduga sebagai kuda Troya itu.
Bagaimana legislatif dan eksekutif tidak frustrasi?
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 254 anggota Dewan menjadi tersangka korupsi sepanjang 2014-2019. Dari angka itu, 22 orang di antaranya anggota DPR RI.
Sejak KPK berdiri tahun 2003, sudah ratusan anggota DPR RI menjadi tersangka.
Sejak 2004 hingga 2019, terdapat 124 kepala daerah terjerat korupsi.
Tidak itu saja, puluhan menteri juga terjerat korupsi. Eksekutif dibuat frustrasi.
KPK juga tidak pernah takut dengan partai politik penguasa. Semasa Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Presiden RI, Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin, Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng yang juga Ketua DPP Partai Demokrat, bahkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dikerangkeng KPK.
Ketika Joko Widodo menjabat Presiden RI, dua anggota DPR RI dari PDIP, yakni Adriansyah dan Nyoman Dhamantra, bahkan Menpora Iman Nahrawi dicokok KPK.
Calon anggota DPR RI dari PDIP Harun Masiku dan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dikabarkan nyaris ditangkap KPK.
Untungnya, ada invisible hands yang diduga melindungi mereka, dan juga Ketua KPK sudah berganti dari Agus Rahardjo ke Firli Bahuri.
Legislatif dan eksekutif kemudian "bersekongkol" melemahkan KPK. Pertama, secara diam-diam merevisi Undang-Undang (UU) KPK, dari UU No 30 Tahun 2002 menjadi UU No 19 Tahun 2019.
Baca: Bambang Widjojanto: Kompol Rossa Disingkirkan Ketua KPK
Dengan UU yang baru ini, KPK menjadi lame duck (bebek lumpuh), karena punya Dewan Pengawas yang harus dimintai izin bila hendak melakukan penyadapan, dan dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Legislatif dan eksekutif juga "bersekongkol" meloloskan Firli Bahuri menjadi Ketua KPK. Padahal, mantan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sumatera Selatan ini sosok kontroversial.
Semasa menjabat Deputi Penindakan KPK, misalnya, Firli diduga bertemu pihak yang sedang berperkara dengan KPK, yakni Muhammad Zalinul Majdi semasa pria berjuluk Tuan Guru Bajang ini menjabat Gubernur NTB.
Pimpinan KPK saat itu menyatakan Firli melanggar kode etik.
Nama Firli juga disebut-sebut dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang dengan terdakwa Bupati Muara Enim Ahmad Yani pada 7 November 2019.
Mungkin justru karena sosok kontroversial itulah maka Firli dipilih eksekutif dan legislatif sebagai Ketua KPK karena bisa dengan mudah dikendalikan, dan juga bisa mengendalikan KPK dari dalam.
Benarkah Firli sebagai kuda Troya?
Faktalah yang bicara
Di bawah Firli, KPK melakukan pemecatan sepihak terhadap penyidik KPK, Rosa Bekti Purba, yang tengah menangani kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Nazaruddin Kiemas kepada Harun Masiku.
Maka bila hingga kini KPK tak kunjung menangkap Masiku, bukan hal aneh. Menunggu KPK menangkap Masiku mungkin seperti menunggu Godot.
Belum genap tiga bulan menjabat, Firli mengganti tiba-tiba juru bicara KPK, Febridiansyah yang pernah menolaknya, mengintervensi para penyidik soal pemanggilan saksi-saksi, dan terbaru memberhentikan penyidik Rosa Bekti Purba secara sepihak pasca-mengembalikan dua jaksa ke Kejaksaan Agung.
Padahal, mereka sedang menangani perkara-perkara besar yang sedang berjalan, termasuk kasus Harun Masiku.
Kini, jangan berharap KPK akan banyak melakukan operasi tangkap tangan yang merupakan buah dari penyadapan.
Jangan pula berharap KPK akan menangkap menteri atau anggota Dewan, karena legislatif dan eksekutif sudah berhasil memasukkan kuda Troya ke KPK.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.