Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Independensi Penegak Hukum dan Amandemen UUD 1945
Undang-undang (UU) dimaksud adalah UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH
TRIBUNNEWS.COM - Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang."
Undang-undang (UU) dimaksud adalah UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Di dalam UUD 1945, kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia (RI) sampai saat ini masih belum jelas, karena dinyatakan hanya sebagai salah satu bagian dari subsistem peradilan pidana, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
Kejaksaan RI kemudian diatur di dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Sedangkan kedudukan Kepolisian RI (Polri) di dalam UUD 1945 diatur di dalam Pasal 30 ayat (4), kemudian dijabarkan di dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Di dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 hanya disebutkan bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Tak ada satu kata pun yang menyatakan kepolisian berada langsung di bawah Presiden.
Faktanya, Kejaksaan RI dan Polri langsung berada di bawah Presiden RI.
Implikasinya, kekuasaan Kejaksaan RI dan Polri sangat dominan, namun tidak bisa independen. Kejaksaan RI dan Polri tunduk pada Presiden, bahkan bisa menjadi alat kekuasaan dan alat politik Presiden.
Presiden bisa menggunakan institusi Kejaksaan RI dan Polri untuk menghantam lawan-lawan politiknya, sehingga akhirnya berbalik mendukung Presiden.
Kasus berbaliknya sejumlah tokoh yang semula oposan menjadi pendukug pemerintah marak terjadi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Tokoh-tokoh oposan yang kebetulan punya kasus di Kejaksaan RI atau Polri pun takluk dibuatnya.
Sebaliknya, aparat penegak hukum dari Kejaksaan RI dan Polri juga bisa digunakan untuk melindungi atau sekurang-kurangnya melakukan pembiaran terhadap para pendukung pemerintah yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Kasus-kasus semacam ini marak menjelang dan pasca-Pilpres 2019.
Fenomena aparat penegak hukum yang dapat digunakan untuk kepentingan pilitik penguasa juga tak luput menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).