Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengenang Profesor Arief Budiman: Disiden Keras Kepala tetapi Sentimentil
Akhirnya kita sepakat untuk kontes Karaoke di Wisma Indonesia di daerah Brighton dengan tema nanyi lagu Cucak Rowo.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh: M. Wahid Supriyadi
Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Profesor Arief Budiman meninggal tepat sehari menjelang bulan suci Ramadhan.
Saya mengenal lebih dekat ketika bertugas di KJRI Melbourne sebagai Konsul Muda Pensosbud tahun 1995-1999 dan kemudian sebagai Konsul Jenderal 2004-2007. Sebelum saya mengenal secara pribadi saya mendapat kesan dia adalah seorang aktivis 66 yang sangat garang dan anti Orde Baru.
Baca: Masjid Agung Al Azhar Bagikan 400 Takjil Kepada Pengendara Motor Secara Drive Thru
Ternyata kesan itu tidak seluruhnya benar. Kesalahan Arief Budiman mungkin karena dia terlalu apa adanya (bloko=Jawa) dan apa yang ada dalam hati itulah yang dia keluarkan.
Dia tidak akan berfikir apakah pernyataan-pernyataanya akan membuat marah para pejabat atau menyinggung seseorang tapi dia juga tidak punya pengikut yang fanatik. Boleh dikata Prof. Arief Budiman adalah seorang single fighter.
Seorang Arief Budiman juga ternyata memiliki kepribadian yang sangat sensitif dan terkadang sentimental. Ketika terjadi bencana Tsunami 26 Desember 2004, Dharma Wanita KJRI Melbourne mengandeng Prof. Arief Budiman untuk melakukan pengalangan dana.
Baca: Cerita Pelaku Bunuh Teman Kencan Seusai Bercinta di Apartemen: Saya Mau Main Lagi Dia Nolak
Dengan jabatannya sebagai Kepala Pusat Studi Indonesia di Melbourne University, dia memiliki kewenangan untuk menyediakan tempat semacam theater yang dapat menampung sekitar 500 orang.
Semenara Dharma Wanita bekerja sama dengan KJRI Melbourne mengisi acara, menjual tiket, makanan dan barang-barang kerajinan sumbangan warga Indonesia di Melbourne. Hasilnya lumayan dan cukup untuk membangun sebuah asrama pemuda di Aceh.
Baca: Jokowi Tunda Pembahasan RUU Cipta Kerja, Andi Gani: Beliau Mendengar Suara Buruh
Ketika memberikan sambutan, di situlah untuk pertama kalinya saya melihat seorang Arief Budiman menitikkan air mata dan sempat berhenti berbicara selama beberapa menit. Dia seolah kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikan betapa hebatnya bencana itu dan betapa besarnya korban manusia yang tidak berdosa.
Ketika awal perjumpaan saya di tahun 1995, dia sempat heran mengapa saya berani mendekatinya dan menanyakan apakah saya tidak takut dipecat. Saya sampaikan bahwa saya juga dulu pernah aktif ketika menjadi mahasiswa walaupun di tingkat kecil-kecilan dan saya tetap menjaga idealisme saya.
Saya adalah seorang professional dan kebetulan berkecimpung di bidang diplomasi. Saya tanyakan apakah sebagai PNS dan diplomat saya boleh bergabung dengan Melbourne Discussion Group (MDG), sebuah forum diskusi mahasiwa dan masyarakat Indonesia di Melbourne yang didirikannya.
Baca: Mantan Pimpinan KPK Sebut Perppu Corona Jokowi Berpotensi Ciptakan Konflik Kepentingan
Tanpa ragu Arief mempersilahkan saya bergabung dalam setiap diskusi, baik yang diselengarakan di Melbourne University maupun sebagai anggota di email-group.
Baca: Arief Budiman Berpulang, Selamat Jalan Pejuang Demokrasi
Banyak para aktviis Indonesia baik dari kalangan akademis maupun LSM yang bergabung di MDG dan awalnya tidak sedikit yang mencurigai saya sebagai mata-mata Pemerintah.
Profseor Arief Budiman meyakinkan anggotanya bahwa saya bukanlah seorang mata-mata dan dia mengenal secara pribadi. Buat saya ini adalah forum yang bagus untuk saling berbagi informasi.
Pernah suatu ketika sekitar akhir 1999 saya diminta untuk menjadi salah satu narasumber pada acara seminar yang diselenggarakan oleh gabungan berbagai LSM di Melbourne dan saya diminta untuk mewakili Pemerintah RI karena pembicara dari Pusat “berhalangan” hadir.