Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
''Gebyok, Ikon Rumah Jawa, Dapatkah Menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Dunia?''
Meski gebyok sudah cukup dikenal, belum banyak orang yang tahu asal mula dan perkembangan gebyok sesungguhnya.
Editor: Johnson Simanjuntak
Oleh: Triatmo Doriyanto, Eunike Prasasti, dan Suhartono
TRIBUNNEWS.COM - Gebyok atau partisi pada awalnya merupakan bagian utama sebuah Rumah Adat Kudus (RAK), yang membatasi dunia profan dan sakral. Ini berarti, secara filosofi, jika batas tersebut tidak ada, hal itu dapat mengusik kesimbangan dunia luar yang berelasi dengan sesama manusia, dengan dunia dalam, yang terkait ritual keagamaan pemilik atau penghuninya dengan Sang Khalik.
Rumah Adat Kudus itu sendiri muncul dan berkembang dari Rumah Adat Jawa tipe Joglo di Kudus yang mengalami perubahan filosofi dan fisik bangunan yaitu bentuk atap, susunan ruang serta detil bagian balok, tiang dan dindingnya akibat pengaruh budaya Hindu-Budha, China, Islam dan sedikit budaya Eropa.
Ini terlihat pada penyederhanaan susunan ruangnya, bentuk atap, perubahan letak dapur, kamar mandi dan penggunaan motif ukiran yang rumit dan indah pada sebagian besar balok, tiang dan dinding rumah.
“Meski gebyok sudah cukup dikenal, belum banyak orang yang tahu asal mula dan perkembangan gebyok sesungguhnya. Gebyok bukan hanya sebagai hasil karya seni ukir semata tetapi juga hasil sebuah proses akumulasi dari perjalanan sejarah, pertemuan budaya, agama dan kearifan lokal bangsa Indonesia sepanjang masa sejak ditemukan sekitar tahun 1500-an di Kudus, hingga kini. Dalam sejarahnya, banyak tokoh yang menjadi pelopor dan ‘arsitek” dari gebyok yang menjadi ikon dari rumah Jawa, hingga bentuknya sekarang ini, yaitu hasil pengembangan oleh para ahli pertukangan dari masa ke masa, mulai dari Kudus dan Jepara,” ujar Triatmo Doriyanto, penulis dan penggagas buku “Gebyok Ikon Rumah Jawa”, saat pelucuran buku tersebut, di Jakarta, Sabtu (2/5/2020).
Ada sejumlah tokoh dalam perkembangan gebyok, mulai dari Sun Ging Ang, The Ling Sing (Kyai Telingsing), Cie Swie Guan, yang dikenal juga dengan Sungging Badar Duwung. Sun Gin An, yang disebut-sebut pertama kali datang ke Kudus selain menyebarkan agama Islam juga mengajarkan keterampilan mengukir.
The Ling Sing yang berteman baik dengan Sunan Kudus selanjutnya meneruskan ketrampilan ayahnya mengembangkan seni ukir seraya menyebarkan agama Islam di Kudus. Sementara, saat yang sama di Jepara, yang waktu itu masih menjadi satu wilayah dengan Kudus, Cie Swie Guan mengembangkan seni ukir batu dan membangun Masjid Mantingan di Demak, yang ikut mendasari ornamen gebyok dalam sebuah bangunan.
Selanjutnya, dua setengah abad kemudian, seorang tokoh yang disebut pengikut dari Pangeran Diponegoro, yaitu Rogomoyo meneruskan keterampilan seni ukir dan petukangan di Desa Kaliwungu, Kudus.
Perkembangan gebyok dan seni ukirnya tak berhenti di situ. Kartini sendiri menjadi sosok perempuan hebat yang mengangkat seni ukir gebyok dari sebuah desa di kaki gunung ke sebuah pameran di Den Haag Belanda, pada masa itu.
“Ia juga menciptakan motif ukir yang khas Jepara dan mendorong para pengukir Jepara dengan mempromosikan hasil ukiran mereka kepada teman-temannya di Belanda hingga seni ukir Jepara tersohor tak hanya di Indonesia tetapi sampai ke seluruh dunia,” ujar Eunike Prasasti, penulis lainnya dan selalu mendampingi suaminya, Triatmo selama survei ke sejumlah daerah.
Seiring perkembangan zaman, gebyok dan Rumah Adat Kudus mengalami kemunduran dalam hal
keberadaannya hingga terancam punah. Rumah Adat Kudus yang masih ada saat ini sangat memprihatinkan dan jumlahnya tinggal beberapa unit di Kudus.
Selebihnya, banyak yang sudah dijualbelikan - baik secara utuh sebagai RAK maupun parsial dalam bentuk sebuah gebyok - tak hanya ke luar Kudus, Pulau Jawa, dan Indonesia tetapi juga ke luar negeri. Padahal, gebyok sebagai bagian inherennya, dan tak terpisahkan dengan RAK. Dengan demikian, RAK berikut dengan gebyok, yang memiliki sejarah panjang sebagai warisan budaya bangsa Indonesia, tentu harus dijaga dan dilestarikan, bukan hanya secara fisik bangunan juga keahlian pertukangannya.
Keprihatinan akan keberadaan dan keinginan melestarikan gebyok dan RAK itulah yang mendorong Jacob Oetama, salah satu pendiri Kompas Gramedia memindahkan salah satu RAK ke halaman perkantoran Kompas Gramedia (KG) yang kemudian dikenal dengan nama gedung Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Gedung BBJ yang berupa bangunan RAK, sebelumnya dirancang bangun (dimodifikasi) oleh arsitek almarhum Romo YB Mangunwijaya dan diresmikan penggunaannya pada 26 Juni 1986 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan dan Menteri Penerangan Harmoko.