Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

''Gebyok, Ikon Rumah Jawa, Dapatkah Menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Dunia?''

Meski gebyok sudah cukup dikenal, belum banyak orang yang tahu asal mula dan perkembangan gebyok sesungguhnya.

Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in ''Gebyok, Ikon Rumah Jawa, Dapatkah Menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Dunia?''
Dok.Penulis
(ki-ka) Penulis Suhartono, Triatmo Doriyanto, dan Eunike Prasasti 

Misi lain dalam penulisan buku ini juga diharapkan agar gebyok dan RAK tidak hanya dapat dilestarikan namun juga agar dapat dicatatkan sebagai salah satu warisan budaya asli Indonesia yang diakui sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia oleh dunia dalam domain keahlian pertukangan yang termasuk di dalamnya motif dan pola yang dihasilkan.

Gebyok di RAK Komp.Menara Kudus
Gebyok di RAK Komp.Menara Kudus (Dok.Tim Penulis Buku)

Pada tahun 2016, RAK sudah dicatat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai WBTB
Indonesia. Dalam pencatatan, RAK disebut sebagai warisan budaya yang memiliki gaya seni bangunan tradisional dengan bentuk/struktur/fungsi/ragam hias dan filosifi perpaduan budaya pra Islam, China dan budaya Islam di Kudus.

Setahun kemudian atau 2017, RAK baru ditetapkan oleh Kemendikbud sebagai WBTB Indonesia dalam domain keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional. Meski ditetapkan sebagai WBTB Indonesia, sayangnya bagian dalam RAK yang terdiri dari gebyok atau partisi, yang menjadi satu kesatuan dengan RAK, sama sekali tidak ikut disebutkan sebagai WBTB Indonesia secara terpisah.

Penyebutan RAK berikut dengan bagian dan maknanya, tanpa menegasikan gebyok, menurut penulis dan berdasarkan wawancara dan sejumlah referensi, tidak memberikan kekuatan yuridis dan pengakuan budaya terhadap gebyok sebagai ikon dan penopang RAK itu sendiri.

Salah satu implikasi tidak adanya pengakuan gebyok sebagai karya cipta dan WBTB Indonesia,
menyebabkan gebyok seolah “tidak ada” pemiliknya sehingga bisa bebas dan leluasa dibawa dan
diperjual-belikan ke manapun, meski secara ketentuan Undang-Undang Hak Cipta dan Cagar Budaya, kepemilikannya harus dilindungi dan dikuasai oleh negara.

Hal itu tentu mengkhawatirkan banyak pihak karena bisa menghilangkan pengakuan secara hukum dan nilai-nilai budaya serta karya cipta gebyok itu sendiri sebagai karya bangsa. Akibatnya, bukan tak mungkin, suatu saat gebyok pun bisa diakui oleh bangsa lain sebagai karya ciptanya, apalagi jika merasa memiliki akar budaya yang hampir sama.

“Harapannya, kini, gebyok sebagai Ikon rumah Jawa juga dapat dijadikan WBTB dunia oleh Unesco,
seperti halnya RAK, yang baru sebatas WBTB Indonesia. Apa yang dirintis oleh Jakob Oetama dengan melestarikan RAK, dapat diikuti pula oleh Pemerintah Pusat dan Pemkab Kudus dengan
mendokumentasikan gebyok berikut segala informasinya untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya,” tutur Triatmo Doriyanto.(***)

Berita Rekomendasi
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas