Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Gus Ghofur, Harapan NU dan Islam Moderat Indonesia
Gus Ghofur adalah putra kelima KH. Maimoen Zubaer dari istri kedua. Sementara Mbah Moen adalah keturunan ke-13 Sunan Giri.
Editor: Husein Sanusi
Gus Ghofur, Harapan NU dan Islam Moderat Indonesia
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Gus Ghofur adalah salah satu alumni Al-Azhar yang mengusung Islam Moderat, dan sebagai representasi peranan Azhariyyin di Indonesia. Bersama Gus Dur, Gus Mus, dan Prof. Quraish Shihab, Gus Ghofur adalah contoh lain bagaimana Azhariyyin Indonesia berturut serta memberi sumbangsih pemikiran dan keteladanan dalam rangka membangun masa depan agama, bangsa dan negara Indonesia.
Gus Ghofur Maimoen ini adalah putra ke-5 KH. Maimoen Zubair dari istri kedua beliau, Ibu Nyai Hajjah Masthi’ah. Sementara Mbah Moen sendiri adalah turunan ke-13 Sunan Giri Gresik (Rd. Muhammad Ainul Yaqin) dari garis ayah Kiai Zubeir bin Dahlan, atau keturunan ke-11 Prabu Geusan Ulun Sumedang yang beristikan Ratu Harisbaya Madura dari jalur ibu. Menurut TB. M. Nurfadhil Satya Tirtayasa al-Husaini al-Bantani, Mbah Moen itu keturunan ke-34 Rasulullah saw.
Pendidikan Dasar hingga Menengah Gus Ghofur diselesaikan di Madrasah Ghazaliyah Syfi’iyah, Rembang. Tahun 1993, ia melanjutkan Pendidikan Tinggi ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Prestasi sudah tampak sejak S1 hingga S2 di program Ushuluddin Jurusan Tafsir. Nilainya selalu “Jayyid Jiddan”. Tahun 2002, gelar doktor pun disabet dengan nilai "Summa Cumlaude."
Sepengetahuan penulis, Gus Ghofur lebih banyak diam dan berbicara hanya ketika diperlukan. Sebaliknya, beliau lebih banyak berpikir dan berkarya. Jangan heran bila ketebalan disertasinya mencapai 1.700 halaman. Disertasi berjudul “Hasyiyah al-Shaykh Zakariya al-Anshari’ala Tafsir al-Baidlowi min Awwal Surah Yusuf ila Akhir Surah Sajdah” memang mengundang decak kagum tim penguji, serta mahasiswa Indonesia di Al-Azhar yang kenal beliau. Jika tim penguji mengatakan, “syarah dan komentar yang ditulis Syeikh Abdul Ghofur ini lebih baik dari yang ditulis Syaikhul Islam Syeikh Zakariya al-Anshari sendiri.” Hal itu masuk akal dan tidak berlebihan.
Penulis mengamini bila Gus Ghofur dinobatkan sebagai kader terbaik Pengurus Cabang Istimewa Nadhlatul Ulama (PCINU), Mesir. Sebagaimana Dr. Fadlolan Musyaffa (Rais Syuriah PCINU Mesir) kala itu berkomentar, “andai saja ada nilai di atas Summa Cumlaude, mungkin nilai itu yang akan diberikan pada sidang disertasi Gus Ghofur.”
Prestasi yang diukir sejak dari Mesir terus dikembangkannya ke Indonesia. Gus Ghofur Maimoen memberi contoh keteladanam bagi para santri dan mahasantri yang kuliah di Sekolah Tinggi Al-Anwar (STAI), Sarang, Rembang. Beliau juga teladan bagi masyarakat sebagai sosok yang berilmu tinggi, tekun, santun, dan disiplin. Sudah jamak jadi perbincangan di tengah masyarakat sosok Gus Ghofur yang disiplin waktu. Misal kala beliau mendatangi undangan, selalu saja “On Time” (tepat waktu), tetapi bahkan “In Time” (datang lebih awal).
Disiplin waktu ini dipraktikkan juga dalam disiplin belajar. Sekalipun sibuk mengurus pesantren dan menjabat Ketua STAI Al-Anwar, Gus Ghofur istiqomah menjalankan riyadhah belajarnya sejak jam 03.00 dini hari. Ia sudah pasti masuk ke perpustakaan pribadinya untuk menimba ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Prinsip ini juga tercantum dalam disertasinya. “jika kamu ingin mengubah nasibmu maka belajarlah!” Gus Ghofur mengutip pesan Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari.
Sebagai seorang gus yang pembelajar, pantaslah beliau memimpin jabatan tertinggi di perguruan tinggi al-Anwar. Namun, yang lebih esensial dari itu adalah konsepnya tentang keseimbangan (tawazun) antara nasionalisme dan agamisme. Dengan kerangka paradigmatik yang tawazun ini, makna Islam Nusantara menjadi lebih segar.
Kiprah Gus Ghofur ini sudah malang melintang bukan hanya di Indonesia, tapi sering diundang pula untuk mengisi seminar dan dakwah di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
salah satu sikap beliau untuk meluruskan kesalahpahaman sebagian orang tentang Islam Nusantara, patut diacungi jempol. Banyak orang menganggap Islam Nusantara adalah Islamnya orang Jawa, sehingga sentimen kesukuan dimunculkan untuk menolak konsep Islam Nusantara ini.
Namun, ketika mengisi pengajian di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, Riau, Gus Ghofur dengan tegas dan jelas mengoreksi salah paham itu. Bagi beliau, Islam Nusantara berasal dari Melayu. Bahkan, Mbah Moen (ayahanda Gus Ghofur) belajar Islam pada orang Sumatera. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi juga gurunya pendiri NU KH. Hasyim Asy'ari. Jadi, Jawa belajar ke Sumatera, atau sebaliknya, hal wajar di kala itu. Dari kebersamaan harmonis macam inilah, Islam Nusantara dibangun.
Islam Nusantara bukan Islam Jawa. Tapi, Islam yang sudah dikembangkan oleh leluhur kita di tanah Nusantara, yang sudah mendarah daging, menjelma nilai-nilai hidup secara harmonis, berpilin sangat indah antara Islam dan lokalitas.