Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kearah Mana Kurva Pemulihan Ekonomi Indonesia?
Tidak ada tanda-tanda kontraksi berarti, apalagi resesi. Perbincangan dikalangan banyak ekonom dan pelaku bisnis pun demikian.
Editor: Content Writer
Oleh:
Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI 2019-2024
Maruarar Sirait, Anggota DPR 2004-2019
Andi Rahmat, Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI 2004-2014
TRIBUNNEWS.COM - Hingga bulan Februari tahun 2020, perekonomian dunia menunjukkan gairah pertumbuhan positif. Tidak ada tanda-tanda kontraksi berarti, apalagi resesi. Perbincangan dikalangan banyak ekonom dan pelaku bisnis pun demikian. Pembahasan lebih banyak pada isu kesenjangan ekonomi, stagnasi pendapatan kelas menengah, efek suku bunga rendah bank-bank sentral, perang dagang Amerika dengan China atau Ekonomi Pro Lingkungan.
Dalam hal kritisasi pertumbuhan ekonomi dunia, ramai dibicarakan soal fenomena sluggish (Istilah yang dipilih IMF ketimbang stagnasi), Fenomena Stagnasi Sekuler dalam pertumbuhan ekonomi dan seterusnya. Tidak banyak diskusi atau reportase tentang ancaman krisis, apalagi resiko depresi pada perekonomian.
Tapi semua itu berubah dramatis diakhir Februari dan terus berlanjut hingga sekarang. Tiba-tiba saja seluruh dunia diperhadapkan pada situasi krisis ekonomi yang makin hari makin menunjukkan kualitas kerusakannya.
Krisis ekonomi ini pemicunya tidak berasal dari dalam perekonomian itu sendiri. Tetapi berasal dari luar lingkungan perekonomian. Krisis kesehatan global, Pandemi Covid-19, berubah menjadi krisis ekonomi yang sulit dicari bandingan efeknya dalam khazanah perekenomian dunia paska Perang Dunia ke-2.
Sebagai pelaku usaha, kami merasakan nuansa optimistis memasuki 2020. Kita memang merasakan adanya 'tekanan' pada perekonomian. Tapi persepsi terhadap tekanan itu lebih merupakan keadaan koreksi normal perekonomian terhadap 'booming' ekonomi paska 2008. Berupa perubahan perilaku bisnis, baik itu ditingkat konsumen maupun peralihan fokus usaha pelaku usaha.
Dalam periode 2014 hingga 2019 agresifitas investasi menunjukkan tren pengambilan resiko yang tinggi. Terutama pada investasi padat modal dan memakan waktu. Dalam persepsi kami, akan menunjukkan hasil positifnya dimulai tahun 2020 ini.
Akumulasi Realisasi Investasi tahun 2014 mencapai Rp 463,1 trilliun, meningkat menjadi Rp 545,4 trilliun (meningkat 17,77%) di tahun Di 2015. Ditahun 2016 mencapai Rp 612,8 trilliun (meningkat 12,4%). Kemudian ditahun 2017 mencapai Rp 692,8 trilliun (meningkat 13%). Ditahun 2018, meningkat lagi menjadi Rp 721,3 trilliun (meningkat 4,1%). Dan ditahun 2019 naik lagi menjadi Rp 809,6 trilliun (meningkat 12,24%). Total akumulasi realisasi investasi sepanjang kurun 2014-2019 mencapai Rp 3845,1 trilliun.
Laporan disektor keuangan juga menunjukkan hal yang sama. Baik berupa indikator peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) diperbankan, kinerja Pasar Saham, indikator kesehatan sektor perbankan dan lain-lain. Kesemuanya menunjukkan dinamika positif dalam perekonomian.
Tentu ada banyak catatan kritis terhadap situasi perekonomian Indonesia sepanjang kurun itu. Peningkatan drastis hutang negara, kinerja penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi yang stagnan dibawah 5,2% , pergerakan kurs yang berhubungan dengan aksi tappering off Bank Sentral Amerika, defisit transaksi berjalan, kinerja keuangan BUMN, adalah hal- hal yang bisa disebutkan menonjol selama kurun waktu itu.
Tibalah kita pada situasi dimana semua indikator perekonomian mengalami kontraksi hebat. Semua variabel pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan penurunan kinerja yang curam.
Angka pengangguran meningkat tajam, jumlah penduduk yang kembali jatuh kedalam zona kemiskinan juga meningkat. Perbankan dan Institusi Keuangan Non-Bank (IKNB) turut mengalami tekanan kuat. Kinerja ekspor-impor menurun. Beberapa sektor bisnis menghadapi resiko kebangkrutan massal. Indeks saham merosot tajam menghapuskan ribuan trilliun nilai kekayaan dalam waktu singkat. Volatilitas rupiah bergerak cepat dalam rentang yang lebar. Semua ini, terjadi tanpa gejala pendahuluan. Tiba-tiba, cepat dan dengan efek toksiknya terhadap perekonomian yang mematikan.
Dari segi skala efeknya terhadap struktur perekonomian, dalam hemat kami, hantaman krisis pandemi terhadap perekonomian jauh lebih hebat ketimbang krisis 1998. Saat ini yang dihadapi bukan saja krisis keuangan, tapi krisis menyeluruh pada semua bangunan perekonomian. Dengan menyisakan hanya sedikit saja sektor yang tidak terdampak hebat. Dan krisis ini bukan saja melanda Indonesia, tapi keseluruhan perekonomian dunia.