Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kearah Mana Kurva Pemulihan Ekonomi Indonesia?
Tidak ada tanda-tanda kontraksi berarti, apalagi resesi. Perbincangan dikalangan banyak ekonom dan pelaku bisnis pun demikian.
Editor: Content Writer
Krisis ini menguji daya tahan perekonomian nasional kita. Menguji respon pemerintah dan otoritas 'quasi government'. Menguji kemampuan dan kualitas pelaku usaha, baik korporasi maupun UMKM dan sektor informal. Menguji keampuhan sistem bernegara kita. Bahkan menguji standar moralitas dan nilai-nilai kita dalam perekonomian.
Arah Kurva Pemulihan Ekonomi Indonesia
Kembali kepada judul tulisan ini, kearah mana kurva pemulihan ekonomi Indonesia? Ini pertanyaan sulit. Mantan Menteri Keuangan Era SBY- Budiono, Chatib Basri, menuliskan satu artikel panjang di salah satu koran nasional soal ini. Dalam bayangannya, tentu dapat dipertanggungjawabkan, tren pemulihan ekonomi nasional akan cenderung kearah Kurva U, bukan Kurva V (Kompas, 08/06/2020). Artinya, pemulihan ekonomi akan menempuh masa yang lebih panjang hingga kembali berfungsi secara normal.
Deloitte dalam laporannya yang berjudul 'Recovering from Covid 19, Considering Economic Scenarios for Resilient Leaders' (Deloitte, 2020) menggunakan tiga skenario pemulihan ekonomi. Skenario pertama disebutnya sebagai 'a steep but short lived downturn'. Asumsinya antara lain adalah bergairahnya kembali perekonomian diakhir 2020, tingkat konfidensi konsumen meningkat, pemulihan China yang lebih cepat, berakhirnya resesi di Uni Eropa dan Amerika. Program fiskal substansial UE dan AS yang berjalan efektif dan bergairahnya kembali 'travel and leissure industry' diakhir tahun. Asumsi PDB riil 2020 di Amerika -5%, UE -5%, Afrika -2,1, China 3% dan Jepang 0%.
Skenario kedua disebutnya, 'Prolonged Pandemy and Delayed Rebound'. Dengan asumsi pertumbuhan PDB riil 2020 AS -8%, UE -8%, Afrika -5,1%, China 1% dan Jepang -3%. Asumsinya antara lain adalah pemulihan baru akan dimulai diakhir 2021, gelombang pandemi meningkat, Stimulus fiskal gagal memicu belanja, UE dan AS mengalami resesi berkepanjangan, dan pemulihan ekonomi di China berjalan sangat lambat, serta penurunan berkepanjangan pada belanja konsumen.
Skenario ketiga adalah skenario 'The worst skenario'. Dalam skenario ini, sistem keuangan gagal sekalipun ada upaya massif dari Bank Sentral untuk mengatasinya, stimulus fiskal besar-besaran tetap tidak mengangkat konsumsi, terdapat banyak usaha yang bangkrut, mata rantai penawaran mengalami gangguan berat, dan ekonomi rumah tangga makin terpuruk. Dan pemulihan ekonomi global tidak menampakkan gejala positif hingga tahun 2022.
Skenario Deloitte ini sebetulnya diperuntukkan bagi lingkungan Afrika Selatan. Tapi gejala dan asumsinya secara umum, dalam hemat kami, memiliki pola yang mirip dengan Indonesia. Kalau di terapkan dalam skenario kurva pemulihan. Maka Skenario pertama adalah skenario optimistik, yang sering digambarkan dalam skenario Kurva 'V'. Skenario kedua merupakan skenario Kurva 'U' yang moderat. Dan skenario ketiga merupakan skenario Kurva 'U' yang ekstrem.
Laporan dari berbagai lembaga ekonomi dunia berikut prakiraan terhadap 'perlintasan/trajectory' pemulihan ekonomi memiliki asumsi yang sama. Bahwa pemulihan ekonomi sangat bergantung pada kemampuan negara-negara dalam mengendalikan pandemi Covid 19 ini yang dibarengi dengan kebijakan ekonomi yang besar, substansial dan efektif.
Sejak awal krisis ini, kami sebetulnya sudah mengajukan istilah 'Maraton' dalam horison kebijakan pemulihan ekonomi nasional. Implisitnya adalah suatu bayangan bahwa pemulihan ekonomi akan melalui perjalanan yang tidak singkat, dan pemulihan itu sendiri tidak berupa lonjakan vertikal yang cepat.
Sebagai pelaku usaha dan penyelenggara negara, tentu kami sangat berharap pemulihan ekonomi kita bisa lebih cepat dalam lintasan Kurva 'V'. Apalagi dengan modal keadaan perekonomian kita yang relatif sehat sebelum Pandemi ini terjadi. Ditambahkan dengan kombinasi kebijakan bauran Fiskal dan Moneter yang kuat dan besar-besaran yang dilakukan Pemerintah dan Bank Sentral, termasuk juga OJK dan LPS.
Namun sifat dan karakteristik dari Pandemi Covid 19 ini berikut dampaknya terhadap bangunan perekonomian membuat pendekatan realistis terhadap pemulihan menjadi pilihan yang dalam hemat kami lebih tepat di jadikan sebagai pijakan bagi skenario pemulihan yang akan ditempuh.
Pilihan realistis ini berkaitan dengan sumber daya pemulihan yang kita miliki dan kita butuhkan. Baik dari segi daya tahan Fiskal pemerintah, kemampuan neraca Bank Indonesia berikut resiko moneternya, kemampuan pemulihan ekonomi dunia. Dalam krisis ini, daya tahan dan kemampuan otoritas negara merupakan kunci bagi pemulihan ekonomi.
Dengan membayangkan secara realistis bahwa pemulihan ekonomi akan melewati skenario Kurva 'U', maka kebijakan-kebijakan yang diambil tentu memiliki pula persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam menciptakan dan menjaga momentum pemulihan.
Persyaratan-persyaratan itu antara lain, pertama, rancang-bangun kebijakan fiskal pemerintah. Khususnya yang berhubungan dengan rancang bangun pemulihan berbasis APBN.