Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Banteng Tidak Ketaton

Lagi pula, pemerintah sudah menyatakan tidak akan membahas RUU HIP itu, dan DPR pun menghentikan pembahasannya.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Banteng Tidak Ketaton
Tribunnews/Herudin
Ratusan kader PDI Perjuangan melakukan demonstrasi di depan kantor Polisi Resort (Polres) Metro Jakarta Timur, Kamis (25/6/2020). Aksi tersebut sebagai respon dari pembakaran bendera PDI Perjuangan yang dilakukan sejumlah peserta demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di depan DPR Rabu (24/6/2020) kemarin. Tribunnews/Herudin 

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - "Kita menunggu komando. Siapkan barisan.

Begitu ada aba-aba, kita bergerak serentak," pesan Fraksi PDI Perjuangan kepada semua anggota DPR RI dari partai berlambang kepala banteng itu, Kamis (25/6/2020).

"Kami bukan PKI. Kami bukan HTI. Kami PDI Perjuangan," bunyi salah satu poster yang diusung massa PDIP dalam aksi "long march" di Matraman, Jakarta, Kamis (25/6/2020).

Kedua hal tersebut merupakan respons atas dugaan pembakaran bendera PDIP oleh massa Persaudaraan Alumni (PA) 212 dalam aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (24/6/2020).

PDIP berang. Kader banteng meradang. Apalagi dalam aksi demonstrasi itu, massa juga diduga membakar bendera Palu Arit yang identik dengan simbol Partai Komunis Indonesia (PKI), yang celakanya, simbol partai terlarang itu sering diasosiasikan dengan PDIP.

PDIP ibarat "banteng ketaton", meminjam istilah Ronggo Lawe, maharesi yang hidup di zaman keemasan Kerajaan Majapahit.

Berita Rekomendasi

Seperti banteng, binatang sejenis sapi berkelamin jantan, yang terluka (ketaton), PDIP siap "mengamuk" sejadi-jadinya saat terluka.

Tapi tidak. Ternyata PDIP tidak benar-benar seperti banteng ketaton. Banteng tak akan mengamuk.

Hal ini tercermin dari Perintah Harian Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Kamis (26/6/2020).

"PDIP tetap dan selalu akan menempuh jalan hukum. PDIP tidak pernah memiliki keinginan untuk memecah belah bangsa," tulis putri Bung Karno itu.

Ya, PDIP akan menempuh langkah hukum terkait pembakaran bendera, sebagaimana PDIP DI Yogyakarta yang juga menempuh langkah hukum terhadap tujuh akun yang mengunggah tanda pagar (tagar) #TangkapMegaBubarkanPDIP, dengan tuduhan ujaran kebencian.

Memang, pembakaran bendera PDIP tak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang menimpa partai ini di masa lalu yang berpuncak pada Kerusuhan 27 Juli 1996 atau "Kudatuli" di Jakarta.

Begitu pun saat Megawati gagal menjadi Presiden RI, padahal partainya memenangkan Pemilu 1999.

Dalam dua peristiwa tragis itu, kader banteng terbukti tidak mengamuk, meskipun "ketaton".

PDIP sudah teruji taat hukum dan konstitusi.

Megawati kemudian menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI pada 23 Juli 2001. Namun pada Pilpres 2004, Megawati dikalahkan oleh bekas menterinya sendiri, Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada Pilpres 2009, Megawati kembali dikalahkan oleh SBY. Akhirnya selama 10 tahun itu, sejak 2004 hingga 2014, PDIP "puasa kekuasaan".

Megawati dan partainya memilih berada di luar kekuasaan sebagai oposisi.

Nah, mungkin karena itulah saat berhasil merebut panggung kekuasaan, dengan menangnya PDIP dan Joko Widodo dalam Pemilu/Pilpres 2014, PDIP seakan "kemaruk", ingin mengendalikan segala urusan.

Semua mau diatur, termasuk Pancasila melalui RUU HIP itu.

Pancasila yang merupakan konsensus nasional yang sudah final coba diutak-atik lagi. Kali ini justru oleh PDIP yang menurut Megawati dalam perintah hariannya, adalah partai yang dibangun melalui sejarah panjang serta berakar kuat pada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, melalui Partai Nasional Indonesia yang didirikan Bung Karno pada 4 Juli 1927.

Presiden Jokowi dianggap sebagai petugas partai. PDIP dan Jokowi pun ada kecenderungan kurang bersahabat dengan umat Islam, mayoritas (82%) penduduk Indonesia.

Klimaksnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ideologi khilafah dibubarkan. HTI melawan. PA 212 berang.

Front Pembela Islam (FPI) meradang.

Isu PKI kemudian diembuskan, termasuk dalam aksi menolak RUU HIP di depan Gedung DPR/MPR RI yang diwarnai dengan pembakaran bendera Palu Arit dan PDIP itu.

Ironisnya, alih-alih minta maaf ke PDIP, Ketua Umum PA 212 Slamet Ma'arif justru menyebut seharusnya PDIP yang meminta maaf karena telah membuat masyarakat marah.

Slamet menuding PDIP menjadi inisiator RUU HIP dan menyebabkan kemarahan rakyat, sehingga demonstran membakar bendera PDIP dan bendera Palu Arit.

Ironis, memang. Lebih ironis lagi, sang orator dalam demonstrasi itu mendesak polisi menangkap inisiator RUU HIP.

Agaknya mereka lupa bahwa anggota DPR RI memiliki imunitas atau kekebalan hukum saat menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya, termasuk bebas berbicara.

Secara spesifik, anggota DPR RI dilindungi UU No 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD3.

Sudahlah, jangan terus-menerus terjadi kegaduhan. Kasihanilah rakyat yang saat ini tertimpa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Rakyat tidak terlalu peduli dengan RUU HIP itu, meskipun kontroversial. Terbukti, banyak peserta aksi yang tak mengetahui apa tujuan aksi, apalagi RUU HIP.

Lagi pula, pemerintah sudah menyatakan tidak akan membahas RUU HIP itu, dan DPR pun menghentikan pembahasannya.

Kalau memang khilaf, siapa pun dia, patut untuk minta maaf, apalagi PA 212 yang diasosiasikan dengan Islam, dan Islam adalah "rahmatan lil alamin".

Bila PA 212 bersedia minta maaf, PDIP pun niscaya akan memaafkannya, dan mengurungkan niat untuk menempuh langkah hukum. Jadi, ada "win-win solution", tak ada yang kalah dan kehilangan muka, semua menang.

Bila mau dikembangkan, bisa saja dipersoalkan darimana demonstran mendapatkan bendera Palu Arit?

Mereka menyita dari pihak lain atau memproduksi sendiri? Kalau menyita dari pihak lain, mengapa mereka tidak melaporkannya ke aparat penegak hukum? Kalau memproduksi sendiri, tentu ada konsekuensi hukum.

Memang, tak mudah berada di panggung kekuasaan. Tak mudah pula menjadi rakyat yang tidak dirangkul kekuasaan. Tapi itulah ujian kita semua sebagai negarawan.

Kini, energi bangsa ini sudah terkuras untuk mengatasi pandemi Covid-19. Jangan lagi dikuras habis untuk hal-hal yang kurang produktif.

Bangsa ini perlu kedamaian, perdamaian, persatuan dan kesatuan dalam menghadapi tantangan masa depan yang kian tak mudah.

Di sana cahaya menggaris kelam, pagi pun bangkit membereskan mimpi semalam. Insya Allah!

* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas