Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tepat, Arena-GBK Jadi Head Quarter
Secara selintas, pemilihan Arena GBK, sangat tepat. Pertama, letak Arena GBK yang bersebelahan dengan hotel Mulia, dan berada di bagian depan.
Editor: Toni Bramantoro
TERBATAS
Sekali lagi, saya ingin berbagi pengalaman khususnya kepada wartawan-wartawan muda yang saat ini sedang bertugas. Event Piala dunia berbeda dengan kegiatan olahraga lainnya. FIFA memiliki aturan baku yang harus diikuti.
Ini terkait dengan kesempatan meliput. Meski event nya ada di Indonesia, itu tidak berarti wartawan sepakbola kita bisa meliput secara leluasa. FIFA membatasinya dengan ketat. Jadi, jangan kaget kalau kuotanya hanya total 20 persen dari jumlah yang ditentukan FIFA.
Urut-urutannya, wartawan tuan rumah, wartawan negara peserta, wartawan negara asal produk yang jadi sponsor, dan wartawan negara yang bukan peserta.
Pengetatan terjadi selepas Piala Dunia 1990, Italia. Waktu itu ada sekitar 30 wartawan Indonesia yang meliput. Sebagai contoh dari kelompok Kompas Grup saja: Kompas (6 wartawan), BOLA (4), Surya (2), grup Suara Pembaruan (3), grup Suara Merdeka (4), Pos Kota (1), PR (1), MI (1), Waspada (2), Tempo (1), Suara Karya (1), dll.
Posisi ini diprotes banyak pihak. Akibatnya di Piala Dunia 1994, jumlah peliput kita berkurang drastis. Setelah itu jumlah wartawan Indonesia yang meliput benar-benar dibatasi.
Selain itu, di piala dunia senior, wartawan yang ingin meliput diwajibkan mendaftar 6 bulan sebelum kick-off. Dan, kita diwajibkan memilih jadwal yang masih berupa kotak-kotak.
Setiap laga yang kita pilih,FIFA menyiapkan tiketnya.
Artinya, Id card yang kita peroleh hanya untuk masuk ke media center. Dan terakhir, setiap wawancara khusus yang kita lakukan, FIFA membuat tarif. Ini pernah dialami oleh alm. Rudy Badil, senior saya di Kompas.
Saat itu Badil sedang menunggu Luca Monte dezemolo, Ketua Panpel. Lalu, ada stafnya yang salah pengertian, meminta Badil ke ruang lain. Ternyata di sana ada pelatih Kamerun asal Soviet, Valery Nepomnyashchy. Badil tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung mewawancarai.
Begitu selesai, ia disodori tagihan 5000 USD. Setelah beradu argumentasi, Badil akhirnya dibebaskan. Tapi, ia diwajibkan membuat surat pernyataan tak akan menurunkan wawancara dalam bentuk apapun.
Begitu kisah peliputan piala dunia, semoga bermanfaat.
*M. Nigara, Wartawan Sepakbola Senior
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.