Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Rekayasa Kriminalisasi Perkara Perbankan ex Pegawai Bank Permata
Terungkap berbagai pelanggaran hukum acara pidana yang terjadi pada saat proses penyidikan dan cacat formil yang mendasar pada surat dakwaan
Editor: Dewi Agustina
Dan diperoleh kabar juga di Bank Mandiri, namun di kedua bank tersebut tidak menjadi permasalahan, berbeda dengan yang terjadi di Bank Permata, para mantan karyawannya menjadi pesakitan, dan tidak ada rekomendasi dan atau audit investigatif yang dilakukan oleh OJK terhadap bank Permata khususnya atas rekening debitur PT MJPL.
Pasal 49 ayat 2b UU perbankan adalah diperlukan adanya teguran dan pemeriksaan terlebih dahulu yang dilakukan oleh OJK terhadap bank Permata, kalau pihak ketiga yang membuat laporan, ya tidak masuk akal, "tahu darimana ada pejabat bank permata yang melakukan pelanggaran pasal 49 ayat 2b tersebut?
Saksi-saksi yang lain (14 orang) yang dihadirkan ternyata menyatakan tidak tahu perbuatan pidana apa yang dilakukan oleh Ardi Sedaka sehubungan dengan dakwaan pasal 49 ayat 2b UU Perbankan, dan hanya mengetahui adanya pemalsuan yang dilakukan oleh PT. MJPL ketika melakukan pembobolan Bank Permata.
Hal ini jelas merupakan suatu kejanggalan karena keterangan saksi merupakan alat bukti utama dalam hukum acara pidana (pembuktian), apabila ternyata tidak ada saksi, mau kemana keadilan di negara kita ini?
Lebih lanjut, dalam surat dakwaan ternyata lebih mengagetkan lagi mengenai detail isinya.
Ardi Sedaka didakwa melakukan pelanggaran SOP yang notabene adalah aturan internal bank permata berupa "trade checking" dan "tidak adanya Surat Permohonan Kredit" yang diajukan oleh debitur.
Padahal ketentuan tersebut hanya merupakan aturan internal bank permata dan bukan Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank, sesuai dengan unsur terakhir dari pasal 49 ayat 2b dimaksud.
Yang lebih mengejutkan lagi, tambahnya, ternyata jaksa penuntut umum mencantumkan peraturan KEWAJIBAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKSANAAN PERKREDITAN BANK BAGI BANK UMUM (Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tahun 1995), yang ternyata telah digantikan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2017 tentang "Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum".
Dalam hal ini, apakah bisa mendakwa orang di persidangan peradilan pidana dengan peraturan yang telah daluarsa dan atau diterbitkan Peraturan penggantinya?
Ternyata masih ada serangkaian ketidak cermatan Surat Dakwaan yakni, Roy dan Anita (keduanya adalah ex direksi bank permata) dikatakan dalam berkas penuntutan terpisah.
Padahal berkas perkara keduanya bahkan belum dinyatakan P-21 oleh pihak kejaksaan yang artinya belum ada pelimpahan tahap 2, masih dalam tahap Penyidikan, dan pasal yang tercantum dalam Surat Dakwaan secara lengkap adalah pasal 49 ayat 2b UU Perbakan jo pasal 55 KUHP ayat jo pasal 64 ayat 1 KUHP, terlihat ketidakcermatan dalam surat dakwaan karena pasal 55 KUHP terdiri dari ayat 1 ke-1 dan ke-2 serta ayat 2, yang artinya harus jelas para terdakwa dibidik dengan pasal 55 KUHP ayat yang mana?
Alangkah naif dan ironis, bank Permata kebobolan dan pengurus PT MJPL sudah dipidana namun ternyata ex karyawan bank permata dianggap dengan sengaja tidak melakukan langkah-langkah untuk memastikan ketaatan bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank.
Padahal penerapan pasal 49 ayat 2b, adalah apabila bank melakukan pelanggaran ketentuan dari otoritas maka harus terlebih dahulu memperoleh teguran dan pembinaan terlebih dahulu, setidaknya 3 (tiga) kali peringatan, dan apabila bank tidak mematuhinya, barulah OJK melakukan investigasi untuk menerapkan pasal 49 ayat 2b UU perbankan.
Karena UU perbankan diterapkan berdasarkan asas ultimum remedium, yaitu penerapan administrative penal sebelum penerapan pemidanaan, dan wajib meminta keterangan dari OJK sebagai pihak yang paling memahami regulasi (das sollen) dan paling memahami penerapan (das sein) suatu regulasi dalam delik tindak pidana perbankan, tambahnya lagi.