Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ukuran Isme atau Agama yang Benar?
Kebenaran sains itu bersifat objekfif-empirik dengan metodologinya yang eksperimental, sedang agama bersifat transendental.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : M ZAINAL ARIFIN RM, Mantan Ketua Umum HMI Cabang Ujungpandang (Makassar)
DULU ada buku yg cukup menghebohkan berjudul Le Bible le Qoran et la Science ditulis oleh Dr Maurice Bucaille, seorang ahli kebidanan Prancis.
Buku itu mencoba membandingkan antara Bibel, Qur'an dan sains modern terhadap beberapa isu (tema) mulai dari penciptaan alam semesta dan asal usul makhluk hidup termasuk manusia, sampai kepada proses pembentukan dan pertumbuhan janin dalam rahim.
Simpulannya, penjelasan Qur'an lebih bersesuaian dengan sains modern, sementara Injil dipandang kurang bersesuaian, bahkan cenderung bertentangan.
Kehadiran buku tersebut disambut penuh suka cita kalangan muslim karena dipandang sebagai pembuktian akan kebenaran Qur'an atau Islam sebagai agama wahyu.
Sayangnya pendekatan seperti ini yang kemudian dikenal dengan istilah bucailisme, bisa jadi berbahaya karena menjadikan sains sebagai justifikasi kebenaran Qur'an.
Padahal sains itu kebenarannya bersifat relatif, tidak mutlak dan final. Salah satu karakter sains adalah dinamis dan terbuka untuk dikritik serta dinyatakan salah untuk diperbaiki oleh teori selanjutnya. Sementara Qur'an kebenarannya bersifat absolut dan final.
Bayangkan, jika kita menyatakan ayat-ayat Qur'an benar karena bersesuaian dengan sains, lantas bagaimana jika teori sains yang membenarkannya dikoreksi penemuan sains berikutnya?
Apakah Qur'an juga harus dinyatakan salah? Berapa banyak kisah-kisah dalam Qur'an yang justru dianggap mustahil oleh sains seperti kisah tongkat Nabi Musa yang membelah laut, Nabi Isa menghidupkan orang mati, atau peristiwa isra mi'raj Nabi Muhammad SAW?
Kebenaran sains itu bersifat objekfif-empirik dengan metodologinya yang eksperimental, sedang agama bersifat transendental.
Manifestasinya hanya bisa dipahami dengan pendekatan-pendekatan yang rasional (bedakan dengan rasionalisme, terutama rasionalisme abad ke 16).
Jadi bagaimana bisa sesuatu yang bersifat transenden, dicari pembenaran dan pembuktiannya pada sesuatu yang bersifat objektif-empirik?
Lantas, apa ukuran satu ajaran, paham (isme) atau agama dianggap benar?
Pertanyaan semacam ini pernah mengemuka dan menjadi perdebatan seru di forum intermediate training (LK 2) HMI Cabang Ujungpandang.