Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ukuran Isme atau Agama yang Benar?
Kebenaran sains itu bersifat objekfif-empirik dengan metodologinya yang eksperimental, sedang agama bersifat transendental.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Manusia tidak mungkin memandang hidupnya berharga jika tanpa tujuan yang defenitif dan bermakna.
Ironisnya tidak ada satu pun pandangan hidup (world view) di barat yang sanggup memberikan tujuan hidup yang defenitif dan bermakna semacam itu.
Semua isme di barat justru memandang hidup manusia sebagai sesuatu yang absurd dan tanpa makna.
Bagi mereka, secara faktual hidup adalah pergulatan manusia melawan penderitaan dan takdir yang telah ditentukan kepadanya, kemudian harus berakhir dengan kematian. Mati didefinisikan sebagai ketiadaan abadi.
Mereka melukiskan sejarah manusia dalam tiga kata: manusia lahir, manusia menderita, dan manusia mati. Jika demikian, lantas apa yang menyebabkan manusia merasa hidupnya berharga untuk dipertahankan?
Hal semacam itu bisa kita baca pada eksistensialismenya Sartre, Descartes, Karl Jesper, pada nihilismenya Nietszche, juga pada absurditasnya Albert Camus (baca: novel La Peste), atau yg lebih dekat, pada sajak "Aku" karya Chairil Anwar (CA).
Sajak ini bertutur tentang "pemberontakannya" terhadap takdir dan kehidupan manusia yang misteri dan pilu, penuh derita yang digambarkan dengan metafor, "Biar peluru menembus kulitku, aku tetap tetap meradang, menerjang. Luka dan bisa kubawa berlari hingga hilang pedih perih."
Walau hidup adalah penderitaan, CA tak mau peduli, malahan terus berjuang untuk bertahan hidup seribu tahun lagi, meski sadar bahwa kematian yang akan mengakhiri dan merenggut semua "perjuangan" manusia untuk mempertahankan eksistensinya, adalah keniscayaan.
Begitu pula yang ditulis Sie Hok Gie dalam "Catatan Seorang Demonstran" yang terkenal itu: "Hidup berarti menunda kekalahan. Hidup yang beruntung adalah mati muda, dan hidup yang sial jika berumur sampai tua," tegasnya.
Al Qur'an menjelaskan keabadian dan kebahagiaan yang hakiki ada realitasnya. Bukan di dunia fana ini, tapi di akhirat.
Mati tidak dimaknai berakhirnya eksistensi manusia, sebagai ketiadaan abadi. Tapi perpindahan manusia dari alam dunia ke alam akhirat. Di kehidupan akhiratlah manusia akan menemukan keabadian dan kebahagiaan yang hakiki.
Dengan demikian Islam mampu menjawab apa yang merupakan kebutuhan yang bersumber dari tuntutan fitrah manusia: keabadian dan kebahagiaan yang hakiki.
Atau dengan kata lain, Islam dengan iman sebagai inti ajarannya mampu memberi tujuan hidup yang menyebabkan manusia memiliki tujuan hidup yang bermakna. Karenanya, iman adalah sesuatu yang dengannya manusia merasa "hidup".
Hal ini pula yang menjelaskan mengapa agama yang terus menerus ditindas, coba untuk dipisahkan dari kehidupan manusia, agar posisinya digantikan oleh sains modern sejak zaman renaisans, tapi tetap eksis, bahkan semakin dibutuhkan manusia saat ini.