Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Leluhur Manusia Itu Sama, Migrasi dan Adaptasinya Menimbulkan Keanekaragaman
Populasi Mongoloid adalah populasi yang paling tahan terhadap MSG (vetzin, micin) yang menghadirkan rasa gurih atau umami dalam hidangan.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Bahkan bapak taksonomi modern, Carolus Linnaeus (dilahirkan pada 23 Mei 1707 di Småland, Swedia), pernah teledor saat mengklasifikasikan ras manusia.
Linnaeus mengklasifikasikan ras manusia dalam Homo europaeus, Homo afer (africanus), Homo asiaticus, dan Homo americanus.
Klasifikasinya tidak hanya didasarkan kepada identifikasi biologis semata, namun memasukkan juga mentalitas (budaya) yang subjektif.
Misalkan Homo europaeus digambarkannya sebagai orang yang suka berpikir, bijak, hemat dan seterusnya.
Homo americanus digambarkanya sebagai orang yang suka bergunjing dan berkonflik, serta lebih mengedepankan percaya daripada berpikir dan seterusnya..
Homo asiaticus digambarkannya sebagai orang yang suka berpakaian mencolok, pamer, judi dan boros. Pendek kalimat, menurutnya mentalitas terbaik hanya untuk Homo europaeus.
Dalam sejarah perkembangan ilmu evolusi, kita mengenal Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace.
Ada perdebatan di antara mereka terkhusus evolusi manusia, namun mereka tetap berkawan.
Perdebatan itu tentang salah satu aspek kunci teori mereka untuk evolusi manusia. Perdebatan itu muncul saat Wallace memberikan ulasan terhadap buku Charles Lyell yang terbit pada 1869.
Lyell menuliskan otak manusia, termasuk aspek bahasa dan penalarannya tidak dapat dijelaskan melalui seleksi alam.
Dia berargumentasi bahwa ciri-ciri itu muncul seturut: “A power which has guided the action of [natural] laws in definite directions and for special ends.”
Darwin menolak tegas – yang kemudian dapat disaksikan bahwa Wallace mengalami kegundahan –jika teori ini mengecualikan manusia, maka sama saja melemahkan teori yang sudah dibangun susah payah itu yang berlaku untuk semua organisme.
Bagi Darwin itu sama halnya dengan membunuh anak otak (teori seleksi alam) sendiri.
Jelaslah evolusi dan rasiologi manusia yang sudah masuk ke dalam biologi itu, ternyata dalam perjalanannya ke masa kini, bukan lagi hanya sekedar urusan penalaran.
Keduanya itu telah masuk dalam medan ideologi, dan karena itu ia menjadi bagian dari diskursus politik kontemporer.
Seperti Jacob pernah mengungkapkan: “Satu hal yang mengejutkan dalam teori evolusi di abad lalu ialah bahwa ia membawa paradigma baru dalam biologi. Positivisme masuk ke dalam ilmu hayat. Orang terkejut bahwa hidup dapat diterangkan secara meterialistis. Inilah kiranya yang paling pokok yang membuat orang antusias terhadap teori Darwin, baik yang menyetujui maupun yang menentangnya. .....
Dalam perkembangannya, teori Darwin kemudian dipakai oleh berbagai golongan untuk kepentingannya.
Marx dan Engels, misalnya mengkapitulasi pengaruh lingkungan terhadap manusia: alatlah yang membuat (menentukan) manusia, bukan sebaliknya.
Golongan kapitalis dan imperialis juga memakai teori Darwin untuk membenarkan pejajahan, perbudakan, ketidaksamaan, kemiskinan dan kebodohan.
Yang unfit pastilah akan terjajah, menjadi budak belian, miskin dan bebal. Kalangan agama juga memakainya.
Manusia jajahan dianggap manusia rendah yang tidak sama tinggi akalnya, tetapi mempunyai roh yang harus diselamatkan dengan agama yang tinggi, suatu misi suci yang menjadi kewajiban orang kulit putih.
Adam Smith memakai teori Darwin untuk menyokong ekonomi pasar bebas. Dengan persaingan, maka yang unggul akan menang; dan ini adalah sesuatu yang wajar.
Kalangan rasis mempunyai alasan untuk menerangkan adanya ras tuan dan ras hamba. Dari sudut agama, golongan agamawan khawatir akan materialisme yang hendak mengganti agama dengan ilmu pengetahuan.
Fatwa-fatwa agama untuk menerangkan alam dan hidup dapat tidak diterima lagi. Saya pribadi lebih suka membayangkan evolusi dan rasiologi manusia seperti hakekatnya yang berbasis biologis.
Di sini kita dapat mempelajari kemunculan dan rasiologi penyakit, sejarah migrasi dan keanekaragaman biologis manusia, antropologi olah raga dan seterusnya.
Manusia berasal dari leluhur yang sama, serta sejarah migrasi dan adaptasinya yang menghadirkan keanekaragamannya.(*)