Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Leluhur Manusia Itu Sama, Migrasi dan Adaptasinya Menimbulkan Keanekaragaman
Populasi Mongoloid adalah populasi yang paling tahan terhadap MSG (vetzin, micin) yang menghadirkan rasa gurih atau umami dalam hidangan.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Jika dasarnya hanya warna kulit, maka kesimpulan kita bisa disebut gegabah, karena kita tidak bisa terkontruksi yang berkulit hitam itu Negroid, yang berkulit putih itu Kaukasoid.
Untuk bisa menduga secara cerdas maka kita bisa menggunakan skala kulit (Felix von Luschan skin color chart).
Berdasarkan skala itu ada 36 warna kulit manusia. Sayangnya, sungguh sangat terbatas ketersediaan alat skala itu di sini; oleh karena itu seingkali kita cenderung untuk mengeneralisir berdasarkan kata sifat, misalkan kehitaman, keputihan dan kecoklatan.
Selain skala warna kulit itu, ada juga skala warna dan bentuk rambut serta skala warna iris mata.
Spekulasi itu makin menganga jika kita hanya menemukan fragmen-fragmen atau potongan-potongan tulang-tulang infrakranial (di bawah tengkorak) untuk menentukan rasnya.
Sungguh makin sulit seturut perjalanan ke masa kini untuk identifikasi manusia karena populasi manusia saat ini adalah hibrid beragam ras karena kemudahan fasilitas mereka untuk saling kenal, bertemu dan berjodoh.
Saat kita ekskavasi arkeologis menemukan potongan tulang paha atau lengan atas manusia, bisakah kita menentukan rasnya? Demikian juga jika itu terjadi dalam temuan Homo erectus atau hominid yang lain.
Seorang paleoantropolog akan sangat hati-hati untuk menyebut ras atau subspesies atas temuan fosil-fosil fragmenter infrakranial Homo erectus.
Para paleoantropolog atau bioantropolog lebih suka menyebut berdasarkan asal atau situs penemuan, misalkan Homo erectus Dmanisi, Homo erectus Ngandong, Homo erectus Cina dan seterusnya.
Seperti halnya evolusi manusia, status ras manusia juga masih menghadirkan ketegangan pendapat. Kita bisa mendiskusikan evolusi tumbuhan dan hewan dengan lebih rileks dibandingkan saat mendiskusikan evolusi diri kita sendiri.
Kita juga bisa mendiskusikan ras-ras anjing, kucing dan seterusnya, dengan begitu asyik. Bisakah kita juga asyik saat mendiskusikan ras manusia?
Kesalahpahaman tentang ras manusia sudah muncul sangat lama. Beberapa oknum memahami – ras yang sebenarnya hanya subspesies Homo sapiens (manusia) – jadi berentitas biologis.
Ras dipahami berdasarkan warna kulit yang memang mudah teramati, maka muncullah klasifikasi “Orang Kulit Putih, Orang Kulit Hitam” dan seterusnya.
Beberapa oknum mengklasifikasikan berdasarkan asal geografisnya: Orang Asia, Orang Eropa, Orang Afrika dan seterusnya. Ada juga para oknum yang menyamakan ras dengan etnis atau suku bangsa.