Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengacak "Puzzle" Joker-Pinangki
Konflik kepentingan saat Kejagung menangani perkara suap jaksa Pinangki Sirna Malasari jelas terjadi.
Editor: Hasanudin Aco
Belakangan, Andi Irfan Jaya, politisi Partai Nasdem yang juga teman dekat Pinangki, yang bersama Pinangki menjanjikan kepada Joker untuk beroleh fatwa Mahkamah Agung (MA) agar tidak dieksekusi untuk menjalani hukuman penjara, ditetapkan Kejagung sebagai tersangka pula, menyusul Pinangki dan Joker yang sudah terlebih dulu ditetapkan tersangka.
Kedua, adik ipar Joker yang disebut sebagai ketua tim pengurusan pembebasan Joker, baik lewat fatwa MA maupun Peninjauan Kembali (PK), disebut telah meninggal dunia di Malaysia.
Ketiga, Kejagung menolak menyerahkan kasus Joker-Pinangki ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal, Wakil Ketua KPK Nawawi Pamolango sudah mengirim sinyal untuk mengambil alihnya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md kemudian melakukan pembelaan terhadap Kejagung dengan menyatakan, KPK tak perlu mengambil alih kasus Joker-Pinangki.
KPK, katanya, cukup melakukan supervisi.
Tidak itu saja, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono juga melakukan pembelaan mati-matian terhadap St Burhanuddin.
Hendro bahkan memuji setinggi langit integritas dan prestasi Jaksa Agung itu. Apa urgensi dan relevansinya seorang mantan Kepala BIN membela Jaksa Agung?
Keempat, Kejagung mencoba melokalisir kasus Joker-Pinangki ini agar tak merembet ke atas.
Caranya, salah satunya dengan menerbitkan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana. Setelah "konangan" dan banyak diprotes, akhirnya Pedoman Jaksa Agung ini dibatalkan.
Sejatinya, pengambilalihan perkara oleh KPK sudah digariskan dalam undang-undang, yakni Pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Dalam Pasal 9 UU tersebut dijelaskan mengenai pengambilalihan penyidikan perkara oleh KPK dari Kejaksaan atau pun Kepolisian, yakni karena indikasi korupsi atau adanya "conflict of interest" (konflik kepentingan).
Pasal 9 huruf d UU KPK menyebutkan, KPK berhak mengambil alih penyidikan apabila penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
Pasal 9 huruf e UU KPK menyebutkan, KPK berhak mengambil alih penyidikan apabila terjadi hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif.