Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jejak Langkah Jakob Oetama
Jadi,setiap wartawan Kompas dengan sendirinya harus mendapatkan mahkotanya sendiri dengan buku yang ditulisnya.
Editor: Achmad Subechi
Oleh: Pepih Nugraha*
Jakob Oetama bersama Ouw Jong Peng Koen (PK Ojong) adalah pendiri Harian Kompas yang terbit untuk pertama kalinya pada 28 Juni 1965.
Boleh dibilang, mereka berdua adalah "dwi tunggal" pendiri dengan latar belakang yang berbeda.
Jakob berlatar belakang guru, tepatnya guru sejarah, di mana sebelum mendirikan Kompas bersama PK Ojong membangun Majalah Intisari dua tahun sebelumnya, yakni tahun 1963.
Majalah ini terinspirasi Rider's Digest yang terbit di Amerika Serikat dengan format dan ukuran yang hampir sama, juga berisi tulisan-tulisan yang sifatnya timeless atau tak lekang oleh waktu.
Boleh dibilang, majalah Intisari akan selalu ada dan diupayakan penerbiatannya, meski sudah banyak kehilangan pelanggan, sebab majalah ini merupakan "milestones" bagi Jakob maupun Ojong.
Pada masa jayanya sekitar tahun 1995an, oplah Harian Kompas mencapai 550.000 bahkan sampai 600.000 eksemplar perhari.
Tentu saja oplah yang besar berimbas pada perolehan iklan yang luar biasa besar. Namun demikian dari sisi redaksi, Kompas pernah dibekukan pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Sejarah mencatat, Jakob-lah orang yang pasang badan untuk menandatangani persetujuan dengan pemerintah agar Harian Kompas bisa terbit kembali.
Alasan Jakob sangatlah pragmatis-taktis, sebab ada ribuan orang yang hidupnya tergantung kepada Kompas.
Lagi pula, kalau melawan dan Kompas tidak bisa terbit lagi sebagai harian, upaya "mencerdaskan bangsa" dan "amant hati nurani rakyat" sebagai kredo Kompas lenyap dengan sendirinya.
Mayat hanya dikenang, tidak bisa diajak berjuang.
Itu sebabnya keputusan "sepihak" Jakob berimpak pada hubungan yang sempat tegang dengan Ojong yang lebih ingin menempuh cara "heroik" dengan tidak perlu menandantangani persetujuan dengan perintah.
Menandatangani persetujuan bisa dimaknakan sebagai ketertundukan Kompas di depan pemerintah Soeharto.