Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jakob Oetama
Pak Jakob adalah orang yang santun –santun yang linier. Itu tercermin dari gaya pemberitaan koran yang dilahirkannya: Kompas.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Pak Jakob tentu sering mendengar aspirasi koran-koran kecil di daerah seperti itu. Beliau adalah Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).
Setiap kali rapat SPS muncul keluh kesah penerbit koran kecil: kalah bersaing dengan koran besar, yang jumlah halamannya begitu banyak dengan harga jual yang begitu murah.
Tapi, akhirnya Kompas juga ekspansi ke seluruh Indonesia –setelah si Bonek dari Surabaya berlari kencang ke mana-mana.
Pak Jakob selalu ''menjewer'' saya dengan senyumnya dan pujiannya. "Ini lho anak muda yang hebat. Ekspansi ke mana-mana tanpa beban," katanya kepada teman-teman penerbit yang lagi kumpul. Berkata begitu beliau sambil tersenyum dengan ekspresi mulut yang –dalam bahasa Jawa disebut– ''mencep''.
Pak Jakob sebenarnya tidak mau jadi Ketua Umum SPS. Bukan agar tidak punya beban ekspansi. Tapi Pak Jakob memang bukan orang yang ambisius di bidang politik.
Bahkan sama sekali tidak berpolitik secara praktis. Tidak pula punya sedikit pun keinginan di jabatan publik.
Rasanya itu sikap yang benar. Daripada seperti yang dilakukan si Bonek yang sampai terperangkap jebakan politik.
Bahwa akhirnya Pak Jakob mau menjadi ketua umum, itu karena terpaksa. Kami semua mendaulat beliau. Kami semua merasa pak Jakob lah yang harus kami tuakan.
Sambil memaksa beliau, kami juga berdoa agar kali ini Ketua Umum SPS tidak meninggal dalam jabatan. Itu karena ketua-ketua umum sebelumnya selalu meninggal dunia sebelum mengakhiri masa jabatan mereka.
Itu juga karena seseorang bisa menjadi ketua umum SPS sampai berapa periode sekali pun. Toh tidak banyak yang mau. Apalagi orang seperti saya: yang bekerja lebih baik dari berbicara.
Setelah beberapa periode, Pak Jakob benar-benar tidak mau lagi dipilih. Beliau merayu saya untuk menggantikan. Saya juga tidak mau.
Dalam suatu kongres SPS di Jakarta Pak Jakob ''menggalang'' utusan: jangan lagi memilih beliau. Harga mati. Lantas beliau ''menggalang'' suara agar memilih saya.
Saya melihat gelagat itu. Menjelang acara pemilihan ketua umum, saya diam-diam ke bandara. Pulang ke Surabaya. Agar tidak bisa dipilih –ketentuannya jelas: calon ketua umum harus ada di arena pemilihan.
Saya pun lega: bisa pulang dari kongres tanpa beban apa-apa. Ups... Begitu mendarat di Juanda saya ditelepon Pak Jakob.
"Mas Dahlan terpilih sebagai ketua umum," kata beliau. "Lho saya kan tidak ada di tempat? Kan anggaran dasar mensyaratkan itu?" jawab saya.
"Menjelang pemilihan tadi anggaran dasarnya sudah diubah. Saya yang menjamin Mas Dahlan pasti mau kalau saya yang minta," kata beliau.
Tentu saya tidak berani untuk tidak tawaduk kepada Pak Jakob. Saya pun menerima jabatan itu –dengan doa jangan sampai saya meninggal dunia di jabatan itu.
Ternyata saya hampir meninggal dunia. Terkena kanker hati. Sampai harus ganti hati. Ternyata saya meninggal dunia beneran –secara politik.
Saya dikenai perkara bertubi-tubi. Saya pun minta berhenti sebagai ketua umum: tidak pantas ketua umum SPS berstatus tersangka.
Saya ajukan surat pengunduran diri itu: ditolak! Mereka tahu saya tidak seharusnya bernasib seperti itu. Begitu diangkat menjabat sesuatu dulu saya juga sowan ke Pak Jakob. Minta restu beliau.
Kepada beliau saya juga berjanji untuk selama menjabat akan menjaga nama baik institusi pers dan kewartawanan. Beliau tahu maksud saya: jangan sampai korupsi.
Ketika akhirnya saya jadi tersangka saya menghadap beliau lagi. Di kantornya yang megah di gedung Kompas Gramedia. Saya menceritakan apa yang sedang saya hadapi.
Tapi beliau sudah sulit mengikuti pembicaraan. Bahkan beliau awalnya tidak ingat siapa tamunya itu. Sampai-sampai saya harus mendekat ke beliau dan dengan agak lantang mengatakan siapa nama saya.
Lalu beliau menganggukkan kepala. Itu sudah enam tahun lalu. Setelah itu saya menghadap beliau lagi. Yakni setelah saya dibebaskan Pengadilan Tinggi Jatim. Tapi beliau sudah semakin lemah dan semakin tidak ingat siapa saya.
Kini Kompas memiliki gedung pencakar langit yang sangat tinggi dan sangat megah. Juga sangat baru. Saya tidak bisa lagi mengatakan gedung saya lebih bagus dari gedung Kompas –karena kini saya tidak punya gedung sama sekali.
Saya belum sempat berkunjung ke gedung baru Kompas itu. Saya berharap Pak Jakob sempat merasakan kemegahannya.
Ketika akhirnya saya juga tidak mau lagi menjabat ketua umum SPS –sudah tiga periode– saya menghadap putra beliau.
"Pak Lilik, tolong ganti Anda yang menjadi Ketua Umum SPS," kata saya. Waktu itu saya didampingi Mas Jauhar, Ketua Harian SPS dan Mas Asmono, Direktur Eksekutif SPS.
Pak Lilik bergeming. Segala jurus rayuan saya pun tidak mempan. Pak Lilik tetap tidak mau. Saya sudah lama mendengar Pak Lilik tidak tertarik pada bisnis koran.
Tapi baru hari itu saya mendengarnya sendiri. "Saya tidak paham koran. Ruwet," katanya merendah. Untuk mengurus koran, Pak Lilik mempercayakannya kepada kader-kader profesional ayahnya.
"Untuk urusan media terserah beliau saja," katanya sambil menepuk pundak orang yang duduk di sebelahnya: Rikard Bagun, wartawan senior yang juga pernah jadi Pemred Kompas.
Pak Lilik sendiri pilih terus memimpin grup Santika, yang sekarang berkembang mencapai hampir seribu hotel. Pak Lilik terlihat asyik sekali di bisnis hotel.
Kini Pak Jakob sudah tiada. Saya tidak tahu apakah kepemimpinan di Kompas selanjutnya akan dipegang keturunan Pak Jakob atau keturunan Pak Auwjong Peng Koen (P.K. Oyong, Petrus Kanisius Ojong), orang Sawahlunto yang mengajak dan memboyong Pak Jakob dari Jogja ke Jakarta.
Semula untuk bersama-sama mendirikan majalah Intisari, kemudian harian Kompas. Pak Ojong sudah lama sekali meninggal dunia, 1980.
Tapi pasangan Tionghoa-Jawa, UI-UGM itulah yang telah membuat sejarah penting pers di Indonesia. Kompas –nama yang diberikan Presiden Soekarno itu, benar-benar telah terbukti bisa menjadi kompas di Indonesia. Termasuk kompas saya. (*)