Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemilukada Bukan Komitmen Demokrasi
Pada kenyataannya kesempatan berdemokrasi yang relatif terbuka setelah sekian lama terkungkung dalam belenggu rezim otoritarian tidak dimanfaatkan de
Editor: Setya Krisna Sumarga
Lalu bagaimana pemimpin dapat terpilih, sementara di sisi lain keterpilihannya itu berasal dari suara rakyat?
Ada banyak ragam cara yang dilakukan. Paling populer adalah politik uang. Uang bukan hanya dimaknai dalam bentuk tunai, tetapi juga dalam logistik dan barang.
Cara lainnya adalah rekayasa sosial di mana calon pemimpin dicitrakan punya kemampuan untuk menyejahterakan rakyat dengan citra diri yang unggul dan suci. Lalu mengapa rakyat dapat terpengaruh?
Dalam bentuk yang pragmatis uang merupakan alat yang efektif. Kesadaran utama orang untuk mampu mempertahankan hidup dan menikmatinya dengan segala ukuran adalah memiliki uang.
Sistem ekonomi liberal menjadikan uang sebagai solusi untuk banyak hal. Tak heran, dalam pemilu jika orang dihadapkan dengan tawaran uang maka peluang untuk terpengaruh pikiran dan pilihannya menjadi terbuka lebar (Berenschot dan Aspinall, 2019).
Penyebab lainnya adalah narasi-narasi yang mampu mempengaruhi pilihan. Di dalam narasi tersebut ada sekumpulan janji dan harapan yang dibutuhkan oleh rakyat.
Jika narasinya tepat, maka akan muncul kesadaran yang termobilisasi massif untuk memenangkan calon pemimpin yang dianggapnya ideal. Kesadaran itu secara mekanis akan bekerja dengan kadar yang berbeda-beda.
Semakin besar orang terpengaruh akan semakin besar kontribusi yang dilakukannya. Lalu, apakah tidak ada ruang rasional?
Ruang tersebut tetap ada dalam skala yang rendah. Terkadang ruang itu juga berada dalam jebakan narasi yang ditawarkan.
Karena sifatnya kompetisi, dimunculkan berbagai rasa: kebanggaan, ketakutan, dan seterusnya agar mampu semakin luas mempengaruhi pemilih lainnya untuk memenangkan calon yang didukung.
Kemerosotan Demokrasi
Sejak 2005 yang memulai pilkada langsung, sudah ribuan pilkada yang terselenggara. Namun dari beribu peristiwa pilkada, tidak tertarik pelajaran untuk melihat permasalahan dari pelaksanaan pesta demokrasi itu.
Permasalahan yang dianggap penting hanyalah mekanisme aturan main pemilihan yang selalu diperbaiki, selebihnya hanya memperkuat status quo partai-partai politik besar. Sementara, rakyat tidak terdidik secara politik, kecuali mengikuti pola klientilisme.
Pemilu sudah menjadi industri suara rakyat yang dikelola oleh kelompok oligark. Siapa mereka? Mereka adalah segelintir orang yang superkaya yang sanggup mengendalikan partai-partai politik dan elite-elite pemerintahan (Winters, 2001; Hadiz, 2005).