Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemilukada Bukan Komitmen Demokrasi
Pada kenyataannya kesempatan berdemokrasi yang relatif terbuka setelah sekian lama terkungkung dalam belenggu rezim otoritarian tidak dimanfaatkan de
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : DWI MUNTHAHA, Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
DI tengah banyak penolakan dari organisasi masyarakat sipil terhadap rencana pemilihan kepala daerah (pilkada) karena semakin mengganasnya ancaman pandemi Covid -19, pemerintah bersikukuh atas keputusannya.
Bahkan, dua organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah, yang merupakan basis legitimasi kultural kekuasaan pemerintah, tidak digubris pernyataannya.
Kegigihan pemerintah untuk tetap melaksanakan pilkada di 9 Desember 2020, diklaim sebagai komitmen yang tinggi pada demokrasi. Mengikuti negara-negara demokrasi lainnya, pemilu memang menjadi variabel penting yang harus dilakukan.
Keterlaksanaanya yang ajeq menjadi salah satu indikatornya. Sejak reformasi 1998, sudah terlaksana 5 kali Pemilu dengan 4 kali pemilihan presiden secara langsung.
Jumlah ini sama dengan pemilu selama masa Orde Baru (Orba). Hanya di masa Orba butuh tiga dekade untuk jumlah peristiwa yang sama.
Pasca-reformasi, gairah demokrasi juga mengubah pilkada yang dulunya dilakukan melalui perundingan patgulipat di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.
Demokrasi seperti mendapat ruang terbuka untuk dilaksanakan atas dasar keinginan rakyat. Tetapi apakah demikian realitasnya?
Benarkah ketika rakyat memilih langsung pemimpinnya atau pun perwakilannya, maka secara otomatis substansi demokrasi yakni pemerintah dari rakyat dan untuk rakyat sudah terjadi?
Sayang sekali, pada kenyataannya kesempatan berdemokrasi yang relatif terbuka setelah sekian lama terkungkung dalam belenggu rezim otoritarian tidak dimanfaatkan dengan seksama.
Pemilu yang diidentikkan pesta rakyat, justru menjadi ajang pengrusakan moral dan etika di mana berbagai praktik manipulasi terjadi.
Rakyat diubah posisinya dari subjek menjadi objek suara untuk menghantarkan kepemimpinan yang cenderung tak kompeten dan abai dengan aspirasi rakyat ketika berkuasa.
Tentu tidak di semua daerah hal ini terjadi, selalu ada anomali kepimpinan daerah yang efektif menjalan mandat rakyat.
Manipulasi Suara Rakyat