Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Pemilukada Bukan Komitmen Demokrasi

Pada kenyataannya kesempatan berdemokrasi yang relatif terbuka setelah sekian lama terkungkung dalam belenggu rezim otoritarian tidak dimanfaatkan de

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Pemilukada Bukan Komitmen Demokrasi
WARTA KOTA/WARTA KOTA/NUR ICHSAN
SIMULASI PEMUNGUTAN SUARA - KPU Kota Tangerang Selatan, menggelar simulasi pemungutan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan, di lapangan PTPN VIII, Serpong, Sabtu (12/9/2020). Simulasi dilakukan di TPS 18 dan diikuti 419 orang pemilih dari Kelurahan Cilenggang, Serpong, Kota Tangerang Selatan. Kegiatan ini disaksikan langsung Ketua KPU Pusat, Arief Budiman dan dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Pilkada Kota Tangerang Selatan akan digelar pada 9 Desember mendatang. WARTA KOTA/NUR ICHSAN 

OLEH : DWI MUNTHAHA, Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Pemilukada Serentak dan Realitas Politiknya
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

DI tengah banyak penolakan dari organisasi masyarakat sipil terhadap rencana pemilihan kepala daerah (pilkada) karena semakin mengganasnya ancaman pandemi Covid -19, pemerintah bersikukuh atas keputusannya.

Bahkan, dua organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah, yang merupakan basis legitimasi kultural kekuasaan pemerintah, tidak digubris pernyataannya.

Kegigihan pemerintah untuk tetap melaksanakan pilkada di 9 Desember 2020, diklaim sebagai komitmen yang tinggi pada demokrasi. Mengikuti negara-negara demokrasi lainnya, pemilu memang menjadi variabel penting yang harus dilakukan.

Keterlaksanaanya yang ajeq menjadi salah satu indikatornya. Sejak reformasi 1998, sudah terlaksana 5 kali Pemilu dengan 4 kali pemilihan presiden secara langsung.

Jumlah ini sama dengan pemilu selama masa Orde Baru (Orba). Hanya di masa Orba butuh tiga dekade untuk jumlah peristiwa yang sama.

Pasca-reformasi, gairah demokrasi  juga mengubah  pilkada yang dulunya dilakukan melalui perundingan patgulipat di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.

Berita Rekomendasi

Demokrasi seperti mendapat ruang terbuka untuk dilaksanakan atas dasar keinginan rakyat. Tetapi apakah demikian realitasnya?

Benarkah ketika rakyat memilih langsung pemimpinnya atau pun perwakilannya, maka secara otomatis substansi demokrasi yakni pemerintah dari rakyat dan untuk rakyat sudah terjadi?

Sayang sekali, pada kenyataannya kesempatan berdemokrasi yang relatif terbuka setelah sekian lama terkungkung dalam belenggu rezim otoritarian tidak dimanfaatkan dengan seksama.

Pemilu yang diidentikkan pesta rakyat, justru menjadi ajang pengrusakan moral dan etika di mana berbagai praktik manipulasi terjadi.

Rakyat diubah posisinya dari subjek menjadi objek suara untuk menghantarkan kepemimpinan yang cenderung tak kompeten dan abai dengan aspirasi rakyat ketika berkuasa.

Tentu tidak di semua daerah hal ini terjadi, selalu ada anomali kepimpinan daerah yang efektif menjalan mandat rakyat.

Manipulasi Suara Rakyat

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas