Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemilukada Bukan Komitmen Demokrasi
Pada kenyataannya kesempatan berdemokrasi yang relatif terbuka setelah sekian lama terkungkung dalam belenggu rezim otoritarian tidak dimanfaatkan de
Editor: Setya Krisna Sumarga
Hal inilah yang kemudian membuat terjadi kemerosotan demokrasi. Di tahun 2019, Indonesia hanya berada di posisi 64 dari 167 negara dalam Indeks Demokrasi Dunia. Ada 5 kategori yang dinilai yakni: proses pemilu dan pluralisme; fungsi pemerintahan; partisipasi politik; budaya politik; dan kebebasan sipil. Dengan indeks di angka 6,48 Indonesia masuk dalam kelompok negara “demokrasi yang cacat” (The Economist, 2019).
Pengalaman ribuan pilkada langsung dan juga pemilu legislatif serta pilpres, ternyata justru memperburuk wajah demokrasi.
Pertikaian publik yang terbelah oleh politik identitas dan etnosentrisme, kerusakan moral karena politik uang, politik dinasti dan sebagainya, pada akhirnya hanya melahirkan pemimpin yang pragmatis dengan kekuasaannya.
Tujuan berkuasa bukan lagi menjalankan amanah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, tapi bagaimana kekuasaan dapat diperluas dan dipertahankan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Maka tidak heran hingga kini sudah 424 orang Kepala Daerah termasuk wakilnya terjerat kasus korupsi (Djohan, 2020).
Artinya, demokrasi yang ditempuh dengan cara pemilihan langsung ini telah terbukti dalam ancaman gagal.
Namun itu bukan alasan untuk mengandaskannya kembali ke bentuk lama yang lebih menakutkan bagi kelangsungan demokratisasi itu sendiri. Negara harus hadir, dalam konteks ini sebagai solusi bagi keterdidikannya rakyat dalam politik.
Jika pemilu dianggap sebagai medium pendidikan politik rakyat, maka kualitas pemilu harus ditingkatkan. Pemilu bukan hanya sebatas upaya mendefenitifkan satu kepimpinan politik yang legitimed.
Cara pandang itu hanya mengukuhkan demokrasi prosedural bukan substansial. Namun wujud itu yang nyata dan konsisten saat ini. Dengan alasan komitmen menegakkan demokrasi, pilkada tetap akan dilaksanakan.
Sedang hasil pilkada di era normal saja menunjukkan bentuk yang centang prenang. Sudah seharusnya konsentrasi pemerintah dicurahkan penuh untuk penanganan kasus Covid -19. Resesi ekonomi di ambang mata, kesulitan-kesulitan rakyat akan semakin bertambah.
Banyak warga negara yang terpukul secara psikologis karena kehilangan keluarga, saudara, kerabat dan mata pencahariannya.
Alih-alih untuk penghiburan, pesta rakyat di tengah situasi bencana dan banyak rakyat sedang berduka, tujuannya hanya untuk memberi legitimasi formal pada kepentingan politik kekuasaan semata.(*)
*) Penulis saat ini sedang menyelesaikan studi di Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional. Aktivitas yang dilakukan adalah Fasilitator Pendidikan Advokasi berbasis Masyarakat di Bhuminara Institute dan FIELD Indonesia.
**) Beberapa tulisan dari penulis telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan artikel. Antara lain; Percaya Pada Rakyat, Memaknai Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah, European Commission, IPPHTI, FIELD, 2006 *Aspirasi, Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan”, Partnership, FIELD, 2003