Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Politik Berdarah:
Memaksakan pilkada tetap berlangsung di tengah pandemi bisa diibaratkan dengan politik berdarah.
Editor: Husein Sanusi
Politik Berdarah: "Menggugat Kengeyelan Pemerintah"
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., MA*
Sejarah menunjukkan manusia semakin lihai dalam membunuh. Politik terlihat jauh lebih tajam dari pedang. Pemilihan Presiden 2019, 894 petugas meninggal dunia dan 5.175 orang mengalami sakit. Kala itu Ketua KPU Arief Budiman menyebut, beban kerja di Pemilu 2019 terlalu berat.
Namun siapa sangka, lebih parah lagi, Pemilihan Kepala Daerah 2020 masih mau dipaksakan di tengah pandemi Covid-19. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan empat alasan Pilkada tetap harus diselenggarakan: amanat undang-undang, hak konstitusi, tata kelola anggaran, dan ketidakpastian akhir Covid-19.
Karena itulah, keputusan akhir berada di tangan publik. Menaruh kepercayaan pada pemerintah sudah tertutup pintu. Berharap Pilkada 2020 tidak diselenggarakan nyaris mustahil. Seakan-akan pemerintah telah menutup telinganya, dan memunculkan kesan bahwa tidak ada rakyat yang memiliki nalar berpikir lebih baik dari pemerintah.
KH. Said Aqil Siroj telah menyampaikan hasil konferensi besar PBNU bahwa keselamatan nyawa manusia harus dikedepankan. Pilkada masih bisa ditunda, tetapi hidup mati tidak bisa ditunda. Hal ini juga bisa mengacu pada fakta politik Pilpres 2019 yang beringas dan memakan korban nyawa. Kini tinggal publik mau menilai bagaimana.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU Pilkada Nomor 2 Tahun 2020 menjadi landasan legal formal Pilkada tahun ini diselenggarakan. Ditambah lagi dana Pilkada yang sudah cair Rp. 1,4 triliun. Pemerintah merasa sudah tidak ada pilihan lain untuk menunda Pilkada, apalagi pandemi Covid-19 menurut World Health Organization (WHO) tidak dapat dipastikan kapan berakhir.
Seperti pepatah hidup memang pilihan. NU, Muhammadiyah, dan Komnas HAM memilih kemanusiaan dan keselamatan. Pemerintah memilih tradisi perebutan kekuasaan, dengan segala argumentasi yang mungkin dibangun. Penulis melihat masing-masing pihak telah menentukan pilihannya. Kini tinggal publik yang akan memilih mau berpihak kepada siapa.
Sulitnya menemukan jalan tengah untuk melembutkan hati penguasa, penulis terngiang ucapan seorang budayawan Emha Ainun Najib. Katanya, "baru kusadari setelah usia saya senja, bahwa bangsa Indonesia tidak sedang memilih pemimpin melainkan penguasa." Ucapan Cak Nun tersebut mengingatkan pada kengototan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan Pilkada, sekalipun rakyat tidak menghendakinya.
Argumentasi dan nalar penguasa sulit dibantah. Sebab landasan-landasan yang digunakan memang cukup kuat, seperti undang-undang, aturan tata kelola negara, dan hipotesis WHO. Sementara negara ini adalah negara hukum yang harus menjadikan hukum sebagai payung bersama. Karenanya, tafsir atas hukum menjadi hal paling penting untuk menemukan landasan apakah Pilkada harus ditunda atau dilanjutkan.
Misalnya, Undang-undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Bagian Kedua Kewajiban, Pasal 9 sampai 20, menyebut secara terperinci agar semua rakyat dan pemerintah bersama-sama memastikan tingkat kesehatan publik. Undang-undang Kesehatan ini juga bagian dari payung hukum dalam menjalankan negara dan pemerintahan. Sementara pemaksaan penyelenggaraan Pilkada di masa Covid-19 adalah upaya pemerintah menabrakkan satu undang-undang dengan undang-undang lain.
Publik bukan berarti tidak memiliki nalar argumentatif. Publik bukan kumpulan orang bodoh. Jika pemerintah ngotot menyelenggarakan Pilkada atas dasar adanya undang-undang dan tata kelola anggaran, maka publik bisa melakukan tafsir yang sama atas legitimasi hukum semacam itu. Namun, ini bukan ajang debat mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi, penyelenggaran Pilkada adalah perjudian antara hidup dan mati, dimana korbannya pasti rakyat.
Persoalan tata kelola anggaran bukan satu-satunya kebenaran yang harus dipatuhi. Uang anggaran Rp. 1,4 Trilyun yang terlanjur dicairkan dapat ditarik kembali dan dibekukan. Pilkada bukan berarti ditiadakan, melainkan ditunda. Untuk menunda Pilkada, pemerintah tinggal menerbitkan undang-undang atau peraturan baru tentang penundaan. Sesederhana itu.
Pemerintah harus sadar apa yang pernah dilakukannya sendiri. Pemerintah sangat tega hati, misalnya, memangkas dana pendidikan untuk penanganan covid-19. Bukankah sudah diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Ini artinya, penguasa masih bisa menerbitkan aturan perundangan yang sama bila memang berniat menunda Pilkada.
Dalam Islam sudah diajari cara membaca nalar manusia. Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya amal perbuatan tergantung niat," (HR. Bukhari). Dalam teori politik, hal itu disebut "political will".
Jika penguasa sudah tidak berkenan menunda Pilkada, maka argumentasi apapun akan dibuat-buat. Inilah mengapa penguasa sekarang memang terkesan kurang bermartabat, kurang punya marwah di mata rakyat. Kehendaknya untuk melayani publik memang kurang nyata, dengan bukti ngotot menyelenggarakan Pilkada di masa pandemi covid-19.
Akhir kata penulis ingin sampaikan, empat alasan Pilkada tetap harus diselenggarakan seperti dipaparkan oleh KPU itu sungguh tidak bijak dan tidak masuk akal. Disisi lain, rakyat, melalui PBNU, PP Muhammdiayah, Komnas HAM dan beberepa elemem bangsa (civil society) telah meminta dengan tegas agar Pilkada di tunda, namun pemerintah tidak mendengar itu dan memaksakan kehendak, dari sini Pemerintah berarti inkonsisten dalam memposisikan politik dan hukum sebagai argumentasinya. Wallahu a'lam.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.