Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Batik Dalam Pemaknaan Kualitas Pelayanan Publik
Batik berasal dari bahasa Jawa yaitu “amba” yang berarti tulis dan “nitik” yang berarti titik. Yang dimaksud ialah menulis dengan lilin.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Ayat (7) menyebutkan, “Standar pelayanan adalah tolok ukur yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan, dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.”
Untuk mengetahui ukuran pelayanan publik yang berkualitas, sebenarnya tidaklah sulit, bahkan dapat ditemukan dalam berbagai kajian yang sudah lama ada, sehingga hal ini lebih merupakan upaya mengingatkan kembali kepada negara, pemerintah dan masyarakat tentang urgensi kualitas pelayanan publik.
Sebagai contoh, Valarie A Zeithaml et.al (dalam Pandji Santosa; 2017; dan Herdiyansyah; 2018), telah menyebutkan sepuluh ukuran kualitas pelayanan publik yaitu: (1) tangible (terlihat/terjamah), terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi; (2) reliable (kehandalan), terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.
Ketiga, responsiveness (tanggap), kemauan untuk membantu konsumen bertanggungjawab terhadap kualitas yang diberikan; (4) competence (kompeten), tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan
Kelima, courtesy (ramah), sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi; (6) credibility (dapat dipercaya), sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat.
Ketujuh, security (keamanan), jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya dan risiko; (8) access (akses), terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan
Sembilan, communication (komunikasi), kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat; dan (10) understanding the customer (memahami pelanggan), melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.
Untuk dan atas nama pelayanan publik yang berkualitas, maka saya berpandangan ada beberapa hal yang tak boleh diabaikan, setidaknya yang juga diperoleh inspirasinya dari batik sebagai kekayaan budaya Indonesia yang adiluhung.
Pertama, kualitas identifikasi. Bila diperhatikan bahan, warna dan motif batik maka kita akan gampang menyadari bahwa pilihannya berbasis permenungan mendalam, pandangan jauh ke depan, pencermatan tentang detail dalam daya kreasi, dan penyesuaian terhadap kebutuhan lingkungan kontemporer.
Pembatik dan pengusaha batik belajar secara turun temurun dengan daya kreasi yang terus diperkembangkan.
Hal ini mutlak diperlukan dalam layanan publik yang bertanggungjawab. Penyelenggara layanan publik harus dapat merancang layanan dengan basis yang cermat dan lengkap tentang kebutuhan publik, apalagi pada masa pandemi seperti ini.
Ada masalah yang menggejala, bahkan tampak mempengaruhi kualitas pelayanan publik, yaitu soal keberagaman.
Walaupun sering diinformasikan format tunggal tentang penyesuaian terhadap keadaan baru, namun skenario pelaksanaannya tampak belum sepenuhnya berjalan.
Pola tergambarkan baik di atas kertas, tetapi pada praksis di lapangan beragam adanya. Bila selama ini keberagaman tampak dipercakapkan lebih pada ranah sosial dan budaya, maka pada saat pandemi ini keberagaman lebih mudah tampak.
Misalnya dalam bentuk dampak yang beragam, aneka suasana baru yang mewarnai kebatinan publik, pengalaman hidup yang berisikan aneka kepanikan, serta pilihan dan cara tanggap yang diliputi banyak alternatif pada deret keadaan nan tak pasti.
Karena itu kualitas identifikasi haruslah mumpuni, apalagi seluruh ranah kehidupan manusia terdampak keadaan yang kurang menguntungkan karena adanya Covid-19 ini.
Sebut saja tingkat kesehatan menurun, proses pendidikan berbasis sistem online belum merata, dan adanya resesi ekonomi global dengan berbagai ikutannya.
Kedua, kualitas operasi. Hampir setahun belakangan dunia dikendalikan oleh gaya, cara dan isi hubungan sosial yang ditandai dengan jarak fisik (physical distancing).
Namun suatu hal tak boleh diabaikan bahwa justru dalam keadaan seperti itulah kehidupan bersama umat manusia harus tahan uji.
Bahkan, tetap dikehendaki mampu berkreasi memaknai peradaban dalam urusan strategi kebijakan dan pelayanan publik untuk sanggup menghadapi krisis dan bertahan hidup.
Tidak ada perintah kepada negara dan pelayan publik untuk mengambil jarak dari urusan dan kualitas pelayanan publik.
Sebaliknya, tiada pula larangan kepada masyarakat untuk tak boleh mendekat kepada negara dan pelayan publik dalam rangka meminta perhatian dan tanggungjawab. Tak ada hukum yang melawan cinta kasih.
Jika politik dipahami sebagai seni untuk memainkan kemungkinan-kemungkinan strategis dalam mendayagunakan pengaruh, kekuasaan, kewenangan, dan panggilan peradaban untuk mendatangkan kebaikan kepada semua atau kesejahteraan bersama, maka adanya virus corona sebagai suatu keadaan yang kurang menguntungkan ini, perlu disikapi dengan saling menyemangati bukan saling menjatuhkan.
Belajar dari detail tentang mengkreasi motif batik, proses membatik dan memasarkan batik yang bertanggungjawab, maka pelayanan publik yang berkualitas membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi, ketenangan dan kesungguhan dalam proses pengerjaannya, koordinasi yang efektif dalam pemasarannya, serta kebertanggungjawaban kinerja yang akurat dan lengkap.
Ketiga, kualitas reparasi. Hal ini terutama berkaitan dengan kepemimpinan dan kepemanduan dalam mengerjakan kualitas layanan publik yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat.
Artinya, layanan publik yang berkualitas haruslah dipimpin oleh orang dan sistem yang benar-benar bertanggungjawab dalam menghasilkan layanan yang juga tepat guna.
Batik menginspirasi lewat siapa yang sepatutnya memenuhi standar kelayakan penggunaan, serta beragam motif untuk berbagai keadaan masa pakai atau pengenaannya.
Terkait kepemimpinan, maka pemimpin sejati adalah orang yang menempatkan rakyat pada puncak tertinggi dari susunan ingatannya, dan pada lubuk terdalam dari landasan perhatiannya.
Identifikasi dan operasionalisasi hanya dapat menghasilkan reparasi yang andal, hebat, terpercaya, berkelanjutan dan reproduktif melalui kepemimpinan yang tangguh dan peduli pada pemenuhan kebutuhan rakyat.
Selamat Hari Batik Nasional, 2 Oktober 2020