Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Fenomena Neo Khowarij NU dan Khittoh 1926

Gagasan kembali ke Khittah 1926 dari segelintir internal Kyai NU adalah gagasan ideal.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Fenomena Neo Khowarij NU dan Khittoh 1926
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon 

Fenomena Neo Khowarij NU dan Khittoh 1926
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

TRIBUNNEWS.COM - Dari Muktamar ke Muktamar, topik yang selalu hangat dibicarakan adalah kembalinya Nahdlatul Ulama (NU) pada Khitthah 1926. Setelah musim Corona sulit diprediksi kapan berakhir, sementara ritual demokrasi (Pilkada) dimungkinkan terus berjalan, pembicaraan "kembali ke Khitthah" menyeruak lagi.

Pertanyaan paling mendasar, apakah spirit kembali ke Khitthah '26 relevan dan kontekstual dengan kebutuhan umat? Apakah ormas NU dalam wajah mutakhirnya gagal memberikan pelayanan dan kebutuhan bagi bangsa dan negara?

Fathoni dalam "Perjuangan NU Kembali ke Khitthah 1926" menulis bahwa tujuan utama kelompok yang ingin arah perjuangan NU sebatas 'Jam'iyah Diniyyah Ijtima'iyah (Organisasi Sosial-Keagamaan) bermula sejak 1952, ketika NU memutuskan terjun ke dunia politik. Gagasan itu kembali bergulir tahun 1971, 1979, 1983, dan kini tahun 2020.

Prof. Dr. Rahmat Wahhab (Ketua Komite Khitthah 1926) memberikan pandangan baru tentang mendesaknya NU kembali ke Khitthah. Menurutnya, Komite ini dibentuk paska Muktamar NU di Jombang, 2015. Ketika praktik Pemilihan pemimpin sudah betul-betul keluar dari jalur AD/ART, didominasi Politik Uang, dan dikoptasi oleh pengaruh partai politik, di antaranya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Visi utama Komite Khitthah 1926 adalah mengembalikan NU ke jalan yang lurus sebagai Jam'iyah Diniyyah Ijtima'iyah.

Pengaruh politik kekuasaan yang mendominasi dalam tubuh ormas NU dan kiyai-kiyai NU mengalahkan cita-cita luhur politik kebangsaan. Dampaknya, menurut Rahmat Wahhab, NU dikritik dari pihak internal dan direndahkan oleh pihak eksternal. Para kiyai-politisi NU bagi orang dari luar NU dinilai dengan nominal, sudah bisa dihargai dengan uang. Bahkan, Prof. Dr. Rahmat Wahhab menyebut salah satu nama politisi senior di pentas nasional, Luhut Binsar Panjaitan, yang sering silaturahmi pada kiyai-kiyai NU.

Dalam hemat penulis, gagasan kembali ke Khitthah 1926 dari lingkungan internal segelintir kiyai NU sendiri adalah gagasan ideal namun tidak kontekstual. Apalagi sampai menyudutkan PKB dan menilainya dengan sinis, karena dianggap terlalu mendominasi dalam tubuh NU. Padahal, PKB adalah anak kandung NU itu sendiri.

Berita Rekomendasi

Cita-cita memisahkan perjuangan dalam dimensi sosial dari dimensi politik, atau sebaliknya, tidaklah mudah. Jarak pemisah antara sosial dan politik hanyalah jarak imajiner. Konseptual. Teoritis. Tidak memiliki wujud materialnya dalam keseharian hidup. Seperti perbedaan antara api dan panas atau dingin dan salju hanya di atas kertas. Sementara dalam kenyataannya, dua yang berbeda itu manunggal.

Salah satu buktinya adalah ketika Prof. Dr. Rahmat Wahhab mengkritik Banser yang berada di bawa NU, tiba-tiba "keceplosan" mengidealkan Front Pembela Islam (FPI). Rahmat Wahhab menyebut apa yang dulu pernah dilakukan oleh Banser kini diambil alih oleh FPI. Artinya, ia mengharapkan Banser memainkan peran sosial-politik seperti FPI.

FPI sendiri yang dibayangkan "ideal" bukan Jam'iyah Diniyyah Ijtima'iyah, yang dimimpikan oleh kelompok yang menamakan dirinya sebagai Komite Khitthah 1926. Bukti paling mutakhir adalah Pilpres 2019 yang silam, ketika dukungan kelompok simpatisan FPI berada di kubu Prabowo-Uno, sementara NU berada di kubu Jokowi-Amin.

Terlalu naif mengimajinasikan realitas Sosial-Keagamaan yang terpisah sepenuhnya dari Politik-Keagamaan. Lebih-lebih agama tidak sebatas mengurusi dimensi sosial melainkan juga politik. Hal ini selaras dengan slogan bahwa Islam adalah pedoman hidup dunia sampai akhirat, dari urusan ritual keagamaan sampai sosial-politik.

Dengan landasan berpikir yang tidak fundamental, pembentukan kepengurusan Komite Khitthah 1926 telah menyimpang dari spirit hadits Rasulullah Saw:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. قد رواه ابن ماجه وغيره

"Apabila kalian menyaksikan perbedaan maka wajib kalian berpegang pada Sawad A'zham (golongan mayoritas)," (HR. Ibnu Majah).

Kubu Komite Khitthah 1926 bukan saja menjadi "Neo-Khawarij", yang mencita-citakan kebenaran versi dirinya dan kelompoknya, dan menyalahkan versi kelompok lain di luar dirinya. Lebih dari itu, gagasan memisahkan perjuangan dimensi sosial dari dimensi politis juga sangat rentan.

Golongan mayoritas yang berpikir kritis memandang siapapun orangnya, termasuk ormas keagamaan, memerlukan perjuangan multidimensional. NU pun demikian. Sebagai ormas besar, anggota NU memiliki karakter beragam, secara pemikiran, sikap keagamaan, bahkan pilihan politik. Karenanya, berbagi ranah perjuangan jauh lebih relevan daripada mengarahkan kapal NU ini ke satu dimensi Sosial-Keagamaan semata, dan mengabaikan dimensi politik.

Problem utama ormas NU saat ini, bukan saja perseteruan dengan kelompok kecil neo khawarij "NU garis lurus" yang sekarang berubah nama menjadi Komite Khitthah 1926. Tetapi, analisis para pakar yang menyebut NU terbagi aliran kiri liberal, kanan fundamental, dan tengah moderat, juga sebuah persoalan besar. Meributkan keragaman ideologi dan kubu-kubu dalam tubuh NU tidaklah etis, sebab ormas NU sendiri adalah teladan dalam mencontohkan persatuan dalam keragaman. Bagaimana mungkin mengusung slogan menjaga keutuhan NKRI, sementara keutuhan ormas sendiri gagal dipertahankan. Bagaimana mungkin menghargai perbedaan suku bangsa, agama dan keyakinan bangsa, sementara perbedaan ideologi di internal NU sendiri gagal dilestarikan.

Hemat penulis, melihat rekam jejak ormas NU yang mulai dilirik dunia internasional, perhatian negara superpower yang besar terhadap Banser dan GP Anshor, serta tokoh-tokoh muda NU yang secara intelektual mendapatkan tempat dalam kancah politik Nasional dan Internasional, maka segelintir kyai NU yang mengatasnamakan NU garis lurus dan berubah wujud menjadi komite khittah 1926, mohon jangan menjadi batu hambatan. Apalagi dengan mendirikan organisasi tandingan NU, ingatlah siapapun yang merusak NU akan kuawat dan mencerderai seluruh warga nahdiyyin, Segala persoalan internal jangan sampai bocor ke mata publik. Apakah betul-betul sulit masalah internal kita diselesaikan secara kekeluargaan?.[]

*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas