Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Memahami Puncak maqāmāt Sufi: Ittihad, Hulul, Wahdat Al-Wujud, Wushul dan Insan Al-Kamil

Bagi kaum Sufi itu dapat terjadi dengan melalui beberapa jalan yang panjang dan berliku, yang cukup melelahkan

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Memahami Puncak maqāmāt Sufi: Ittihad, Hulul, Wahdat Al-Wujud, Wushul dan Insan Al-Kamil
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon. 

Memahami Puncak maqāmāt Sufi: Ittihad, Hulul, Wahdat Al-Wujud, Wushul dan Insan Al-Kamil.

Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., MA

TRIBUNNEWS.COM - Manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu raga dan jiwa. Oleh karena itu dalam upayanya memenuhi kebutuhan jiwa itu, pembahasan tentang manusia selalu menarik, terutama dari sisi jiwa, yaitu religius-spritualis. Cepat atau lambatnya perjalanan spiritual seseorang ditentukan bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitas mujahadah dan riyadhah.

Bagi kaum Sufi itu dapat terjadi dengan melalui beberapa jalan yang panjang dan berliku, yang cukup melelahkan dengan berbagai maqāmāt, di antaranya; al-zuhud, al-taubat, al-sabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbah, al-ma’rifah, al-baqa’ wa al-fana’ sampai pada al-ittihad, al-hulul, dan wihdat al-wujud. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda karena maqāmāt itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu sendiri. (Huda Darwis, At Tasawwuf wa Rasail an-Nur li an Nursi, hal. 220).

Kesemua maqāmāt tersebut merupakan metode yang ditempuh oleh seorang Sufi untuk sampai ke puncak-puncak capaian sufistik, namun metode yang ditempuhnya antara satu sufi dengan sufi yang lain tidak sama. Bahkan keadaan yang dialami ketika ia berada pada puncak tersebut sangat bervariasi.

Jadi seorang sufi tidak dapat begitu saja dekat dengan Allah. Tetapi, ia harus menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan. Jumlah maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda karena maqāmāt itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu sendiri. (Huda Darwis, At Tasawwuf wa Rasail an-Nur Li an Nursi, hal. 220).

Yang dimaksud maqam di sini ialah puncak pencapaian spiritual yang dapat dicapai seseorang. Ibarat tangga yang mempunyai beberapa anak tangga, harus didaki para pencari Tuhan (salik) melalui berbagai usaha. Dari anak tangga pertama hingga puncak memerlukan perjuangan dan upaya spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat.

BERITA REKOMENDASI

Pencapaian maqam tertinggi yang diidamkan bagi seorang sufi tentu bersatunya sang pencinta dan yang dicinta. Konsep penyatuan ini bagi Abu Yazid al-Bustami dikenal dengan istilah Ittihad, bagi al-Hallaj dikenal dengan istilah hulul, bagi Al-Jilli disebut Insan al-Kamil, bagi Al-Ghazali disebut wushul dan bagi lbnu Arabi menyebutnya dengan istilah wahdat al-wujud. Namun demikian secara konsepsi ada sedikit perbedaan yang mendasar diantara para sufi tersebut.

1. Ittihad
Yang dimaksud dengan Ittihad adalah suatu tingkatan dalam tasawuf dimana seorang sufi, karena dalam upayanya menyucikan jiwanya yang terus-menerus, sehingga ia mabuk dengan Tuhan, dan merasa dirinya telah lenyap dan yang ada hanya wujud Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi dengan katakata: Duhai Aku. Duhai al-Haq! (A. R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah aL-Misriyah 1949, hal. 63)

Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu.” Sufi yang bersangkutan, karena fana‟nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan. Pencetus konsep al-ittihad adalah Abu Yazid al-Busthami. Nama lengkapnya adalah Thaifur Ibn Isa ibnu Sarusyan. Dia berasal dari Bustham. Kakeknya, Sarusyan sebelum masuk Islam adalah seorang pemeluk agama Majusi, selanjutnya masuk Islam. Abu Yazid meninggal tahun 261 H. (Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Pakistan, 1964, hal.115)

2. Hulul

Hulul secara bahasa halla, yahullu, hululan adalah menempati, menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma‟ adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. (Abu Nasr al-Tusi, al-Luma‟, al-Qahirah, Dar al-Kitabah al-Haditsah, 1960, hal. 53)


Pencetus konsep hulul adalah al-Hallaj, nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain lbnu Manshur ibnu Muhammad al-Baidhawi. Dia lahir sekitar tahun 244 H di al-Baidha, Persia. Digelari al-Hallaj karena penghidupannya dia peroleh dari memintal kain hallaj (wol).

Al-Hallaj berpendapat, bahwa Allah mempunyai dua sifat dasar (nature), yaitu ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Teorinya ini dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul at-Tawasin. Dalam teorinya disebutkan, bahwa sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat dirinya sendiri.

Halaman
1234
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas