Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Penggiat Budaya Tuntut Informasi Seimbang Terkait Berita Tata Kelola TMII
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) adalah zona penyangga (buffer zone), kawasan konservasi yang memberi manfaat bagi jutaan orang
Editor: Toni Bramantoro
Senada dengan Suryandoro, Pengamat dan Penggiat Budaya, Mas'ud Thoyib, menyampaikan, menjadi kewajiban Pemerintah memelihara dan melestarikan TMII tanpa istilah mengambil alih. Empat tahun lagi, menurutnya, TMII berusia 50 tahun dan menjadi Benda Cagar Budaya.
“Jadi istilahnya bukan mengambil alih, tapi memang kewajiban Negara untuk memelihara dan membiayai pelestarian dan operasional TMII. Seperti halnya Museum Nasional dan benda cagar budaya lainnya untuk dimasukkan ke APBN,” papar Mas'ud Thoyib.
Setelah era reformasi, Pemerintah Pusat dinilai kurang peduli terhadap TMII. TMII dibiarkan jalan sendiri. Padahal hal ini kewajiban Negara terkait dengan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan budaya bangsa.
“Pemerintah wajib mengucapkan terima kasih kepada YHK yang dengan dedikasinya mengelola TMII selama 45 tahun secara mandiri. Tetap setia membayar pajak dan memenuhi regulasi lain sesuai aturan Pemerintah,” ujar Penggiat Budaya, Sigit Gunarjo.
Satu hal juga, kata Sigit, pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, harusnya dapat memberi statement yang transparan, dan terbuka. “Beritanya seimbang. Agar masyarakat menjadi jelas dan tahu apa yang sudah dilakukan YHK. Jangan menghakimi seenaknya sendiri kepada YHK,” ujar Sigit.
Sejak proyek TMII digulirkan, kata Sigit, sudah menuai kritik tajam. Namun sebenarnya pihak yang mengkritik belum tahu tujuannya. Mereka khawatir bahwa pembangunan TMII pemborosan dan tidak ada artinya.
“Padahal gagasan TMII tidak seperti yang dikhawatirkan. Kenyataannya setelah sekian tahun TMII jadi, pengkritik-pengkritik itu mengakui manfaatnya. Tapi orang-orang baru yang punya kepentingan ikut merongrong,” papar Sigit.
Sigit berharap pengelolaan TMII ke depan seyogyanya tetap berkolaborasi. Melibatkan unsur Yayasan Harapan Kita (YHK) dan Badan Pengelola dan Pengembangan (BPP) TMII. TMII merupakan destinasi wisata budaya non-profit. Ada unsur pelestarian budaya, namun tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi.
“Dengan komposisi dan sinerji pengelolaan tersebut diharapkan TMII semakin maju, dan berkembang. Lestari budayanya dan sejahtera karyawannya. Berhasil guna dapat menggerakkan potensi anjungan, museum dan unit rekreasi dalam rangka pemajuan kebudayaan di Indonesia,” ujar Sigit.
Terkait pengalihan pengelolaan TMII, Penggiat Seni dan Budaya, Ertis Yulia, mengharapkan perubahan tersebut dapat membawa dampak lebih baik dan selayaknya didukung.
“Harapan saya TMII semakin berjaya dan menebar manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa. Semoga dengan kebijakkan, komitmen dan dukungan Pemerintah dan support dari para cendekiawan TMII lebih baik. Kurang bijaksana jika hanya mengkritik tanpa memahami permasalahan yang dihadapi. Kita harus memberi andil positif,” ujar budayawan, yang kini menjabat sebagai Koordinator Anjungan Daerah TMII ini.
Penikmat budaya, Dedy Indiawan, S.E, mangatakan TMII selama ini menjadi pusat kebudayaan dalam upaya pelestarian kesenian serta show-window potensi Provinsi Se-Indonesia, serta tempat wisata murah dan merakyat.
Amanah Presiden Soeharto, biaya masuk TMII dibuat seringan-ringannya, agar masyarakat kecil bisa menikmati. Di setiap peringatan HUT TMII 20 April, TMII menggratiskan biaya masuk.
“Dengan pengelola yang baru TMII tetap menjadi pusat budaya dan sarana promosi Provinsi Se Indonesia. Wisata edukasi, yang murah dan merakyat. Mempertahankan fungsinya sebagai sarana memberdayakan dan melestarikan budaya bangsa. Mengembalikan fungsi Anjungan Daerah tidak dipakai kegiatan yang sifatnya komersial,” harap Dedy.