Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Absurditas di Larangan Mudik

Mengapa hasrat masyarakat untuk mudik tetap bergelora meski ancaman sanksi menanti bagi mereka yang melanggar?

Editor: Sanusi
zoom-in Absurditas di Larangan Mudik
tribun timur/tribun timur/muhammad abdiwan
Dr. Sawedi Muhammad, Sosiolog Universitas Hasanuddin 

Memahami Absurditas

Dalam essainya “The Myth of Sisyphus” (1942), Albert Camus mendaku absurditas sebagai sesuatu yang eksis karena terdapat beberapa hal yang konfrontatif. Absurditas berada tepat di tengah kelindan kontradiksi.

Ia tampak saat kontradiksi terus diola oleh nalar dan ketika nalar tidak dapat menyatukan atau menyusun hal-hal tersebut menjadi satu pemahaman logis yang terstruktur.

Akibat dari kontradiksi yang tidak dapat diolah oleh nalar maka absurditas lahir tepat diantaranya. Jack Maden dalam artikelnya “Camus on Coping with Life’s Absurdity” (2019), menegaskan bahwa Camus percaya bahwa kisah Sisifus adalah metafora brillian dari eksistensi manusia sehari-hari.

Manusia yang setiap harinya melakukan pekerjaan yang sama selama hidupnya, memiliki nasib yang kurang lebih sama dengan absurditas Sisifus. Manusia terbangun, bekerja keras kemudian tertidur; kembali bangun, bekerja keras dan tertidur. Kebiasaan monoton ini ibarat mendorong bongkahan batu ke atas bukit, menggulirkannya ke bawah dan mendorong kembali ke atas.

Pengulangan kebiasaan duniawi seperti ini menjadi absurditas fundamental dari kondisi manusia - menganggap dirinya telah membuat banyak kemajuan - tetapi sesungguhnya sama dengan Sisifus terjebak dengan rutinitas keabadian mendorong dan menggulirkan batu secara berulang untuk selamanya.

Penyekatan mudik Idul Fitri untuk para pengendara sepeda motor yang dilakukan pihak aparat keamanan di Pos Gamon, Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sabtu (8/5/2021).
Penyekatan mudik Idul Fitri untuk para pengendara sepeda motor yang dilakukan pihak aparat keamanan di Pos Gamon, Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sabtu (8/5/2021). (Rizki Sandi Saputra)

Satu hal yang menarik dari Sisifus adalah penegasan Albert Camus mengenai usaha keras Sisifus naik turun dari bukit adalah sebuah kemenangan (triumph). Sisifus secara demonstratif memperlihatkan fakta bahwa manusia dapat hidup “dengan tekad menghancurkan nasib, tanpa menyerah”.

Berita Rekomendasi

Sisifus menunjukkan kekuatan dan daya tahan menghadapi absurditas: ia tahu dirinya dapat menjadi tuan atas nasibnya. Kita bisa belajar dari Sisifus - bertanggung jawab atas hidupnya - menghindari solusi instan dan menerima hidup seperti apa adanya. Hanya dengan cara ini hidup akan memiliki tujuan bahkan kebahagiaan menghadapi absurditas.

Dalam mitos Sisifus, Camus menyimpulkan bahwa “the struggle itself toward the heights is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sisyphus happy”. Camus tidak memandang kisah Sisifus sebagai kesia-siaan tanpa nilai.

Bahkan ia mengajak kita untuk melihat Sisifus - penuh kebahagiaan mengisi hatinya – dengan perjalanan menuju puncak gunung. Sisifus yang mengangkat batu adalah saat dimana manusia melakukan konfrontasi. Sisifus dan manusia sama-sama berbahagia dalam segala pencariannya.

Konfrontasi, kesedihan, perjuangan, kerinduan dan pemberontakan adalah hal yang membuat manusia hidup. Proses ini menjadikan Sisifus sebagai raja dan orang terkutuk sekaligus sebagai legenda. Kesakitan dan nilai utama dari kesakitan tersebut apa yang disebut Michaelangelo sebagai “The agony and The Ectasy”(Dika Sri Pandanari, 2020).

Dorongan Dari Dalam

Julie Beck “The Psychology of Home: Why Where You Live Means So Much” (Atlantic, 2011), menegaskan bahwa dorongan manusia untuk kembali ke tempat mereka dilahirkan adalah status ikonik tak tergantikan yang dimilikinya dan menjadi pembeda dengan tempat-tempat yang pernah dilihat dan dikunjungi.

Manusia pada dasarnya memiliki dorongan yang sama untuk menjadi bagian dari satu tempat yang membuatnya merasa eksis dan terikat kedalam dinamika pertukaran yang terus berlangsung – saling mempengaruhi satu sama lain dalam sebuah sistem tunggal yang interaktif. Menurut William S. Sax, tempat atau rumah adalah sesuatu yang datang dari dalam – bersumber dari pikiran atau jiwa - yang pada akhirnya mewarnai kepribadian. Rumah atau tempat kelahiran tidak sekadar menunjuk anda berasal dari mana tetapi siapa anda yang sebenarnya.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

Berita Populer
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas