Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Absurditas di Larangan Mudik

Mengapa hasrat masyarakat untuk mudik tetap bergelora meski ancaman sanksi menanti bagi mereka yang melanggar?

Editor: Sanusi
zoom-in Absurditas di Larangan Mudik
tribun timur/tribun timur/muhammad abdiwan
Dr. Sawedi Muhammad, Sosiolog Universitas Hasanuddin 

Frank T. McAndrew, “Home Is Where The Heart Is, but Where is Home”? (Psychology Today, 2015) menyebutkan bahwa keterikatan seseorang dengan sebuah tempat atau rumah disebut sebagai “Topophilia”, “Rotedness” atau “Attachment to Place”.

Ikatan kuat ini membuat seseorang apabila berada didalamnya akan merasa tenteram, nyaman dan damai dalam menjalani hidup, melintasi ruang dan waktu.

Dalam puisinya yang memikat, Robert Frost menggambarkan bahwa “rumah adalah tempat, saat engkau mengunjunginya, ia akan membawamu ke dalamnya”. Singkatnya, rumah, tempat kelahiran atau kampung halaman adalah penghubung utama antara manusia dan dunia di sekelilingnya.

Uraian di atas menggambarkan betapa larangan mudik adalah sesuatu yang absurd, meski bukanlah sesuatu yang sia-sia. Sikap pemerintah yang melarang mudik bagi masyarakat sementara WNA bebas masuk ke dalam negeri dimasa pandemi adalah kontradiksi yang memaksa nalar untuk bekerja.
Bagaimanapun sebagai sebuah bangsa yang sedang berjuang membangkitkan ekonominya - kehadiran WNA terlepas dari bahaya sebagai pembawa virus – mereka menjadi sumber devisa negara sekaligus menjadi simbol keterbukaan untuk saling bekerja sama dengan bangsa-bangsa lainnya.

Tekad masyarakat untuk mudik ke kampung halaman di tengah pandemi yang memungkinkan mereka sebagai pembawa virus ke seluruh negeri juga adalah sebuah absurditas.

Keinginan mereka untuk berkumpul bersama keluarga tercinta, melepas kerinduan di kampung halaman, bernostalgia dengan teman masa kecil mengalahkan keresahan akan munculnya klaster baru penyebaran virus corona. Bagi para pemudik, dihadang oleh aparat, diguyur hujan deras, diterpa debu jalanan bukanlah sebagai penghalang.

Di titik ini, mudik tidak hanya dimaknai sebagai konfrontasi, perjuangan dan kerinduan. Mudik adalah pemberontakan, sesuatu yang membuat hidup semakin hidup, sekaligus sebagai penanda bahwa kita sebagai sebuah bangsa belum menyelesaikan sebuah proyek besar yaitu menjadi Indonesia.

Berita Rekomendasi
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas