Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Catatan Merah untuk Menag Gus Yaqut!
Dengan hanya 1.529 peserta dinyatakan lulus jalur non beasiswa (biaya mandiri) ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, 4.173 tak lulus versi Kemenag.
Editor: Husein Sanusi
Catatan Merah untuk Menag Gus Yaqut dan Jajarannya !
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Selamat bagi calon mahasiswa baru (Camaba) yang lulus seleksi masuk Universitas Al-Azhar Mesir, berdasarkan pengumuman Kemenag pada tanggal 11 April 2021 kemarin. Selamat juga bagi penyelenggara kegiatan seleksi calon mahasiswa Timur Tengah. Setelah tahun lalu ditunda karena pandemi Covid-19, tahun ini menjadi penanda awal dibukanya kembali ujian seleksi.
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kemenag, Suyitno, mengatakan bahwa total ada 5.752 siswa yang mengikuti ujian seleksi studi ke al-Azhar Mesir. Dan telah dinyatakan lulus; 20 kuota beasiswa dan 1529 kuota non beasiswa (biaya mandiri) di Al-Azhar Mesir.
Dengan hanya 1.529 peserta dinyatakan lulus jalur non beasiswa (biaya mandiri) ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Artinya, 4.173 orang yang tidak lulus ujian versi Kemenag. Hal ini sungguh sangat disayangkan. Cara-cara lama Kemenag untuk menghalangi dan merintangi mahasiswa Indonesia belajar ke Mesir masih terus dilakukan. Regulasi sengaja dibuat-buat demi memperkecil kuota ke Al-Azhar. Yang sudah bertahun-tahun dibatasi 1500an santru, padahal 4.173 adalah para santri yang mewakili ribuan pesantren di indonesia yang akan belajar khazanah Islam ke al-azhar dengan biaya mandiri dan al-azharpun tidak pernah membatasi.
Ada apa dengan pejabat kemenag yang alergi Universitas al-azhar? Pernahkan pejabat kemenag berfikir bagaimana nasib ribuan santri dan pesantren yang kader-kadernya dijegal kemenag ke azhar? Padahal mereka adalah generasi penerus dakwah Islam wasatiyyah/moderat di indonesia. Pertanyaan ini layak di ajukan karena selama 20 tahun ini kemenag sangat terobsesi menyeleksi santri yang akan studi ke al-azhar biaya mandiri (non-beasiswa) dan tidak melakukan untuk negara/kampus lain seperti yaman, syiria dll.
Berdasarkan hasil survei dan riset internal, penulis menemukan bahwa konten soal-soal ujian seleksi non-beasiswa versi Kemenag belum sesuai standard ujian seleksi versi Al-Azhar. Selain itu, soal-soal ujian seleksi versi Kemenag tidak kontekstual dengan realitas latar belakang pendidikan calon peserta. Tidak heran bila dari 5.752 peserta hanya lulus 1.529 calon mahasiswa mandiri dan sekitar 20 calon mahasiswa beasiswa. Sedangkan 4.000 lebih tersingkir.
Ironisnya, lulus tes Kemenag ini harus dimaknai bahwa 1.529 mahasiswa yang dinyatakan lulus oleh Kemenag harus mengikuti ujian seleksi berikutnya sesampainya di al-azhar. Dan sudah bisa dipastikan seperti tahun-tahun sebelumnya mayoritas tidak akan lulus, dari 1500 an yang lulus kemenag yang bisa langsung kuliah di azhar hanya puluhan saja dan ribuan sisanya tetap akan masuk kelas matrikulasi bahasa Arab al-azhar selama 1 tahun. Sebab, pola semacam ini sudah berjalan puluhan tahun dan Kemenag tidak pernah evaluasi diri.
Sebenarnya, untuk meningkatkan kemampuan bahasa arab bagi Camaba, pihak Al-Azhar telah menyediakan Lembaga dan Program Matrikulasi (Ma'had Lughah). Program matrikulasi Al-Azhar ini adalah solusi bagi ujian seleksi Kemenag yang "abal-abal". Disebut abal-abal karena Kemenag hanya melakukan filterisasi, bukan peningkatan skill (maharah) calon mahasiswa Indonesia. Buktinya 95% lebih calon mahasiswa hasil ujian seleksi kemenag gagal masuk al-azhar bahkan harus masuk Ma'had lugoh al azhar ( kelas matrikulasi bahasa level dasar). Sungguh ironis !
Padahal pada masa Menag Lukman Hakim, Al-Azhar, OIAAI dan kemenag telah bekerjasama untuk urusan peningkatan skill/maharah tersebut, dengan mendirikan Lembaga Matrikulasi bernama PUSIBA (Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab). Di PUSIBA ini, Al-Azhar telah menetapkan 6 level yang harus dilalui oleh calon mahasiswa. PUSIBA adalah prestasi OIAAI dan Kemenag pada era Lukman Hakim Saifuddin (2014-2019). Dimana keistimewaanya alumni PUSIBA secara otimatis bisa diterima azhar tanpa tes masuk lagi. Sangat di sayangkan pada era Kemenag di bawah Gus Yaqut, ruang gerak PUSIBA justru dipersempit dan dikerdilkan. Bayangkan saja siswa tidak boleh ikut pendidikan PUSIBA tanpa lebih dahulu ikut ujian seleksi Kemenag.
Mensyaratkan peserta didik PUSIBA harus lulusan/rekomendasi dari Kemenag terkesan menghalangi santri-santri yang hendak belajar ke Al-Azhar. Jika tujuan pemerintah adalah mendapatkan kualitas terbaik, mestinya membiarkan calon mahasiswa yang gagal ikut tes (biaya mandiri) ikut pelatihan di PUSIBA. Sebab hal itu adalah hak mereka untuk meningkatkan skill dan kemampuan agar sesuai grade dan standart Al-Azhar, dengan mengikuti matrikulasi di PUSIBA.
Logika sederhananya, semakin banyak peserta didik PUSIBA, maka semakin lebih baik. Namun, jika tujuan pemerintah (Kemenag) adalah membatasi kuantitas, maka hal ini persoalan lain di luar tujuan meningkatkan kualitas Camaba. Jadi, jika ukurannya kualitas, kenapa dibatasi untuk ikut belajar di PUSIBA? Kenapa hanya diperuntukkan bagi Camaba yang hanya lulusan seleksi Kemenag saja?
Bukankah soal pendidikan dan mendapatkan kualitas maksimal adalah hak belajar mereka? Berbagai pertanyaan ini muncul karena sebelumnya diperbolehkan mengikuti matrikulasi Pushiba tanpa harus lulus ujian selesksi kemenag terlebih dahulu, sungguh mengherankan jika hari ini dilarang. Ini gerak mundur kemenag hari ini.
Apa yang dilakukan Kemenag memang sesuai dengan adagium publik yang menggambarkan mental birokrasi di Indonesia: "Jika aturan masih bisa dipersulit, untuk apa dipermudah?!" Karenanya, patut dipertanyakan: untuk apa seleksi masuk PUSIBA, jika lembaga ini memang bertugas untuk matrikulasi?!
Berdasarkan pengamatan internal kami, penulis menemukan indikasi bahwa Kemenag dan KBRI bersekongkol untuk meminimalisir calon mahasiswa baru dari Indonesia ke Al-Azhar. Ada banyak alasan mereka yang sering diungkap ke publik oleh pejabatnya, antara lain: ada mahasiswa Indonesia di Al-Azhar sebagai pelaku kriminal, pelecehan seksual, ada persoalan ekonomi, atau ada yang tidak lulus ujian kenaikan kelas, dan lainnya. Stigma/steroip inilah yang selalu digaungkan pejabat kemenag dan KBRI Mesir sebagai alasan harus meminimalisir calon mahasiswa azhar.