Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Khofifah-Anies Kuda Hitam Pilpres 2024, dan Kuatnya Dominasi Patriarki
Tentu saja kurang ideal apabila politik penentuan pasangan Capres-Cawapres sebatas prinsip filosofis saja.
Penulis: Husein Sanusi
Khofifah-Anies Kuda Hitam Pilpres 2024, dan Kuatnya Dominasi Patriarki
Oleh : KH. Imam Jazuli, Lc., MA.
TRIBUNNEWS.COM - Pilpres 2024 memang topik yang selalu menarik, apalagi waktunya makin dekat. Masing-masing Parpol dan massa pendukung telah mulai mempromosikan "jagoan" mereka. Berbagai lembaga survei, baik yang bayaran maupun ikhlas, baik lembaga eksternal maupun internal, mulai melontarkan isue-isue tertentu terkait tokoh mereka.
Beberapa nama yang muncul, antara lain: Anies Baswedan (Gub. Jakarta), Ridwan Kamil (Gub. Jabar), Ganjar Pranowo (Gub. Jateng), Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jatim), Yaqut Cholil Qoumas (Ment. Agama), Sandiaga Uno (Ment. Parekraf), Prabowo Subianto (Ment. Pertahanan), Mahfud MD (Ment. Polhukam), Agus Harimurti Yudhoyono (Ketum Demokrat), dan Puan Maharani (Ketua DPR RI).
Beberapa nama yang belum banyak dibicarakan antara lain: Retno Lestari Priansari Marsudi (Ment. Luar Negeri), Sri Mulyani (Ment. Keuangan), Tri Rismaharini (Ment. Sosial), atau bahkan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang dulu sempat kesohor. Dengan begitu, dominasi politik yang patriarkis masih mengisi ruang wacana publik kita semua.
Kita memang tidak berharap politik Indonesia seperti negara lain, karena kita punya gaya sendiri. Namun setidaknya, kita berpeluang untuk mendiskusikan beberapa negara demokratis lainnya. Sebut saja Amerika Serikat, di sana Joe Biden didampingi oleh Kamala Haris; Jerman dipimpin oleh Angela Merkel; dan di Perancis, sekalipun Marine Le Pen kalah dari Emmanuel Macron, tetapi setidaknya berani maju sebagai calon presiden.
Tentu saja kurang ideal apabila politik penentuan pasangan Capres-Cawapres sebatas prinsip filosofis saja, termasuk jika membicarakan isue kesetaraan gender dan kesempatan bagi suara atau wakil dari perempuan, akan tetapi figur perempuan tersebut tidak memiliki basis massa yang fanatik, maka isu kesetaraan gender ini hanya bualan kosong di arena politik praktis.
Jika sudut pandangnya adalah partai politik, beberapa figur perempuan yang menonjol dan akan muncul antara lain: Tri Rismaharini, Puan Maharani dan Khofifah Indar Parawansa. Nama terakhir ini, meski bukan kader Partai, tetapi sosoknya yang Nahdliyin sering diidentikkan dengan PKB. Di luar itu, partai-partai lain tidak memiliki kader yang cukup. Sedangkan nama-nama seperti Retno Marsudi dan Sri Mulyani bagaikan “tanah tak bertuan”, yang masih menunggu pinangan. Sedangkan peluang Tri Rismaharini sangat kecil karena berangkat dari kendaraan yang sama dengan Puan Maharani (PDIP).
Dengan begitu, jika isu kesetaraan gender ini naik, maka hanya tinggal dua figur yang akan keluar: Khofifah dan PDIP (Puan Maharani). Sejauh mana isu gender menjadi penting di Pilpres 2024, bergantung pada keputusan internal mereka, serta sejauh mana publik membutuhkannya. Selain itu, Khofifah dan Puan memiliki basis massa masing-masing.
Perbincangan kesetaraan gender ini sebenarnya sangat penting, terutama untuk membaca peluang pasangan kuda hitam belakangan ini yang mulai terus mengerucut pada dua nama besar: Khofifah dan Anies, atau sebaliknya. Misalnya, jika PDIP memilih mengusung Puan Maharani, maka otomatis Ganjar akan terganjal. Begitu pula bila PKB memilih Cak Imin, Mahfudz MD atau Gus Yakut, maka Khofifah boleh jadi terganjal. Tetapi realitasnya dukungan Khofifah sebagai capres-cawapres semakin menggema, tentu saja ini akan membuat elektabilitae Khofifah akan merangkak tajam, sebab selain isue gender, juga isue kapasitas dan intelektualitas yang vis to vis dengan Puan.
Maka pasangan Khofifah-Anies atau sebaliknya (Anies-Khofifah), sebenarnya sangat ideal, karena keduanya sudah sama-sama teruji bisa menang Pilkada tanpa harus menjadi kader partai. Majunya Khofifah-Anies sebagai Capres ataupun Cawapres, akan mewakili kelompok kelompok agamis-tradisionalis-modernis. Gabungan kelompok santri dan religius kotapun akan menjadi kekuatan besar yang tak tertandingi. Sebab Hubbul Wathan kota dan desa akan berpadu sempurna. Karena bagaimanapun umat islam di negeri ini lebih dari 80 %.
Pada saat kelompok agamis desa dan kota bersatu (tradisionalis-modernis) bersatu, maka kelompok puritanis dan nasionalis akan menghadapi jalan buntu. Isu-isu agama, radikalme tertutup sepenuhnya, dan hanya akan menjadi isu kecil. Apalagi kiprah Khofifah begitu lekat dengan nasionalis-religius. Disisi lain, isu-isu politik yang sepenuhnya sekular, duniawi, juga makin tidak mendapatkan ruang; ia hanya akan bersaing dengan ide islam puritan, khilafah, dll. Kelebihan lain, Khofifah, yang mantan Menteri Sosial, ia akan leluasa memaikan isue kesejahteraan ekonomi; kedaulatan tanah, laut dan udara; pemberantasan korupsi; pengembangan teknologi tinggi 5.0; dan hal lainnya.
Meski sangat ideal, pasangan Khofifah-Anies agaknya sulit terwujud, karena adanya hambatan partai. Pada tulisan sebelumnya, penulis bicara tentang politik-ambisus dan trah di internal Parpol, sebab sangat sulit dibayangkan seorang yang bukan kader Partai akan maju begitu saja. Tetapi disisi lain, ini adalah tantangan serius bagi Khofifah-Anies untuk bisa melobi partai-partai lain yang belum jelas arah ideologis mereka sebagai partai politik.
Beberapa tahun belakangan ini, banyak orang bicara tentang Indonesia Maju 2030. Ini adalah gambaran tentang optimisme. Bagi siapapun yang tidak optimis, sudah pasti akan tergilas. Salah satu buktinya, pada Pilpres 2019, Prabowo Subianto pernah mengusung pesimisme politik, dengan mengatakan Indonesia akan hancur lebur di tahun 2030. Ramalan itupun kian terbukti. Dirinya gagal jadi Presiden, dan turun tahta jadi menteri pertahanan, termasuk pasangannya yang turut serta jadi menteri.
Tentu saja, Pasangan Khofifah-Anies harus tertantang untuk mengatasi kepentingan-kepentingan Parpol yang pragmatis, namun, secara figur, dua tokoh ini sudah sangat mumpuni dan ideal sebagai sosok pemimpin Indonesia 2024-2029. Apalagi kharisma, efek elektoral dan aura yang dipancarkannya, keduanya akan mampu berbicara banyak di pilpres 2024.
Perlu di catat saat ini Khofifah sebagai Ketum Muslimat NU, sebuah organisasi akar rumput yang sangat solid, dengan anggota Muslimat NU yang konon mencapai 32 juta (lebih besar dari partai papan atas mananpun), tentu sebuah kekuatan yang perlu dipertimbangkan semua parpol di Indonesia. Wallahu a’lam bisshawab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.