Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Membaca Visi Pendidikan Berkarakter KH. Imam Jazuli: Khidmah, Himmah dan Shuhbah
Melihat sosok Kiai berarti pada saat bersamaan melihat wujud nyata kebijaksanaan.
Editor: Husein Sanusi
Membaca Visi Pendidikan Berkarakter KH. Imam Jazuli: Khidmah, Himmah dan Shuhbah
Oleh : Prof. DR. KH. Khaerul Wahidin, M.A *
TRIBUNNEWS.COM - Jim Garrison (1995) pernah menulis artikel jurnal berjudul "Deweyan Prophetic Pragmatism, Poetry, and the Education of Eros." Artikel ini diterbitkan oleh American Journal of Education, Volumene 103, Nomor 4, 1995. Garrison mengulas kembali persoalan Eros dan hubungannya dengan pendidikan sebagai tema-tema kuno dalam pemikiran Barat. Menurutnya, pendidikan sejak awal telah dikaitkan dengan perkembangan moral, kreativitas, dan di atas segalanya, kebijaksanaan.
Kebijaksanaan memang konsep abstrak, tidak berwujud, tetapi kerap mewujud dalam figur seorang Kiai. Melihat sosok Kiai berarti pada saat bersamaan melihat wujud nyata kebijaksanaan. Namun begitu, topik terkait Eros dalam dunia dan percakapan pendidikan kontemporer mulai merosot. Ini adalah tanda dari cara berpikir kita sebagai masyarakat modern, yang terlalu intelektual dan hiperrasional tentang pendidikan.
Mengangkat kembali percakapan kuno tentang Eros, serta memulihkan beberapa hubungan tradisional antara cinta, kreativitas dan kebijaksanaan dengan percakapan pendidikan sangatlah urgen. Dari sosok figur seperti Kiai Haji Imam Jazuli, ulama yang sekaligus intelektual lulusan Universitas Al-Azhar Mesir dan Universiti Kebangsaan Malaysia, kita mengambil konsep “trinitas kebijaksanaan”, yaitu khidmah (pengabdian pada umat), himmah (cita-cita tinggi), dan shuhbah (pergaulan luas).
Para santri/siswa-siswi dididik dengan cara pandang yang holistik. Pendidikan tidak saja berakhir di ruang kelas atau ruang-ruang laboratorium penelitian, melainkan harus berguna dan membawa maslahat bagi umat. Asas maslahat atau nilai guna ini merupakan pengertian dari prinsip khidmah. Pendidikan tidak boleh hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi harus meluas pada masyarakat, bangsa dan negara.
Berkhidmah kepada umat bukan pekerjaan mudah. Santri harus terlebih dahulu menempa diri dengan ketat dan keras untuk menempuh cita-cita yang tinggi (Himmah). Pendidikan tidak boleh ala kadarnya dengan menunaikan kewajiban wajib belajar 12 tahun sebagaimana program pemerintah. Tetapi harus mencapai Puncak gelar akademik, seperti sarjana, master, doktor dan profesor harus diraih. Ini sebagai pengejawantahan dari prinsip himmah atau cita-cita yang tinggi. Sebab, kualitas suatu bangsa dapat diukur dari kualitas pendidikan warganya.
Pokok dasar dari khidmah dan himmah tersebut adalah shuhbah (pergaulan yang luas), inklusifitas. Santri tidak cukup membangun hubungan yang erat antar sesama penduduk setanah air, melainkan harus multinasional. Kecapakan membangun komunikasi dengan seluruh warga masyarakat di dunia sudah menjadi tuntutan era globalisasi. Bukan lagi waktu yang tepat mengurung diri, mengisolasi dari kancah peradaban dunia. Sebaliknya, harus aktif menjadi aktor penggerak peradaban dunia.
Uniknya lagi, kesatuan wujud konsep khidmah, himmah dan shuhbah dalam pemikiran pendidikan Kiai Imam Jazuli, yang pragmatis dan berorientasi pada nilai guna tersebut, juga menyimpan nilai-nilai profetik. Sepanjang proses belajar, santri mengamalkan amalan-amalan tirakat, antara lain puasa Dalailul Khairat. Tirakat ini menjadi wasilah dan ikhtiar penguatan batin, bukan sekedar kognitif-intelektual.
Dalam pandangan Jim Garrison, dimensi spiritual seperti tirakat Dalailul Khairat juga disebut Eros. Bahkan, Eros memungkinkan manusia (pelajar) memikirkan topik-topik tertentu dengan cara-cara yang efektif, walaupun seandainya sebagian besar persoalan telah terlupakan. Mengamalkan tirakat-tirakat tertentu di tengah-tengah proses pembelajaran yang rasional-intelek adalah tindakan seni dan estetis. Jim Garrison sendiri mengutip pandangan John Dewey, bahwa sains, logika, dan metode penyelidikan (riset) itu sendiri dapat dipahami secara estetika dan sebagai subordinat dari tindakan penciptaan.
Dengan begitu, Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, adalah medan bagi Kiai Imam Jazuli dalam meramu antara sains, logika, metodologi riset dengan spiritualitas dan nilai-nilai profetik lainnya. Alhasil, trinitas kebijaksanaan (khidmah, himmah, shuhbah) di atas merupakan unsur-unsur paham pragmatisme-profetik dari sang Kiai. Pengabdian kepada bangsa dan negara, cita-cita yang tinggi untuk meraih prestasi akademik, dan pergaulan luas antara bangsa, semua itu lahir dari nilai-nilai spiritual, termasuk tirakat-tirakat santri selama di pesantren.
Pragmatisme-profetik dalam pemikiran pendidikan Kiai Imam Jazuli adalah sebuah keharusan dan kontekstual dengan kebutuhan sekarang. Di era modern dan di tengah arus globalisasi, lembaga pendidikan dihantui oleh pragmatisme-materialis. Lembaga-lembaga pendidikan terpaksa mengarahkan output mereka untuk menjadi pekerja dan buruh. Bahkan, parahnya, hanya untuk kebutuhan personal para lulusan sekolah.
Sebaliknya, tujuan membentuk lulusan yang mengabdi pada umat, memiliki cita-cita keilmuan yang tinggi, dianggap sebagai terlalu idealis. Dampaknya sangat nyata dan terasa. Para pekerja yang didatangkan dari luar negeri adalah pekerja-pekerja profesional, sedangkan warga pribumi menjadi pekerja kasar. Tentu hal ini tidak dapat dilepaskan dari kegagalan lembaga pendidikan dalam negeri, tidak mampu menanamkan himmah kepada peserta didik sejak dini.
Kenyataan pahit lain yang mewarnai kehidupan berbangsa di negara ini adalah mudahnya konflik sosial. Warga negara mudah di adudomba, termakan isu-isu hoaks, dan terseret pada fanatisme kelompok. Apalagi ditunggangi oleh kepentingan partai politik. Bahkan, banyak generasi muda memilih jadi buzzer demi mengejar bayaran, walaupun harus mengorbankan persatuan. Hal ini adalah indikator bahwa lembaga pendidikan gagal menanamkan shuhbah pada peserta didik sejak dini.
Semua persoalan kebangsaan ini harus segera dituntaskan. Salah satu alternatifnya adalah tidak memisahkan tujuan-tujuan pragmatis dari nilai-nilai profetik. Dan tujuan-tujuan pragmatis harus ditempuh secara komprehensif melalui prinsip khidmah, himmah dan shuhbah, serta dilandasi nilai-nilai spiritual keagamaan. Pengalaman Pesantren Bina Insan Mulia dapat menjadi salah satu percontohan ideal dalam mendidik generasi masa depan. 3 kata yaitu; Khidmah, Himmah dan Shuhbah yang terpanpang di gerbang pesantren Bina insan Mulia semoga menginspirasi dan menjadi prinsip pendidikan pesantren pada umumnya.
* Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) dan Pengasuh Pondok Pesantren Akmala Sabila Cirebon.