Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ryan Jombang vs Habib Bahar
Perkelahian antara Bahar dan Ryan adalah benturan antara napi berisiko rendah dan napi berisiko sangat tinggi.
Editor: Dewi Agustina
Memang tidak dilarang. Tapi memahami bahwa prison violence merupakan fenomena, maka bagaimana otoritas penegakan hukum juga akan menindak secara pidana pelaku-pelaku perkelahian lainnya di dalam penjara.
Jika pidana hanya dijalankan pada kejadian Ryan vs Bahar, maka boleh jadi sistem penegakan hukum justru akan terkesan bersikap diskriminatif.
Seolah hukum hanya bekerja pada kejadian ini dan abai terhadap kejadian-kejadian serupa lainnya.
Damai sajalah di dalam penjara. Keadilan restoratif, istilahnya. Luka dikasih obat. Rehabilitasi dijalankan lagi agar kerja positif lapas bisa mengendap kembali pada diri napi berisiko rendah.
Satu lagi. Bagi kalangan yang antihukuman mati, menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati dipandang sebagai kekejian yang tak terperi berikutnya.
Di Amerika, pada tahun 1990, rerata masa tunggu antara vonis dan eksekusi adalah 95 bulan. Tapi pada 2019 naik menjadi 264 bulan (22 tahun!).
Tidak hanya masalah bagi terpidana mati. Keluarga korban pun bisa merasakan penderitaan akibat "iming-iming hukum" tak kunjung ditunaikan.
Penulis:
Reza Indragiri Amriel
Dosen dan Ahli Psikologi Forensik