Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Konsolidasi Demokrasi di Era Pandemi
Pandemi Covid-19 menghadirkan limitasi-limitasi tersendiri yang menuntut perubahan cara pandang dan mekanisme kerja yang tidak biasanya.
Editor: Content Writer
Eskalasi tantangan
Tantangan terhadap penerapan prinsip-prinsip demokrasi akan semakin terjal ke depan. Banyak agenda politik dan pemerintahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah di tengah keterbatasan yang ada. Yang paling krusial tentu saja agenda Pemilu 2024 yang meliputi Pilpres dan Pileg yang akan diselenggarakan secara serentak.
Suhu politik menjelang pesta demokrasi tersebut diprediksi akan semakin tereskalasi dari tahun ke tahun, hingga mencapai puncaknya pada 2024. Hal ini merupakan tantangan yang berat bagi demokrasi Indonesia untuk tetap berkhidmat pada prinsip sebesar-besarnya kebaikan masyarakat dalam praktik politik dan pemerintahan.
Problematika demokrasi yang dihadapi dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan akan semakin masif dan tajam. Jika tidak berkhidmat pada Pancasila dan konstitusi, dikhawatirkan demokrasi akan terjerumus pada sebuah fenomena yang dinamakan sebagai “demokrasi tanpa demos”, yakni praktik-praktik politik dan pemerintahan yang mengabaikan aspirasi rakyat.
Tentu saja kita tak hendak untuk masuk ke dalam kondisi tersebut. Pemerintah pasca orde baru, termasuk rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah berkomitmen untuk menjalankan praktik-praktik pemerintahan yang mendorong demokrasi agar terus bergerak secara progresif (progressive democracy).
Dalam menyikapi proyeksi problematika demokrasi yang akan meningkat dari tahun ke tahun tersebut, ada dua model respons yang dapat ditempuh oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia saat ini.
Pertama, pemerintah bersikap asertif dalam merespons dilema-dilema demokrasi, seperti yang ditunjukkan pada kebijakan PPKM Darurat dan Pilkada 2020 kemarin, yang mana meskipun orientasinya bagi kemaslahatan publik dan berjalannya agenda nasional, pemerintah harus bertahan terhadap kritik dan resistensi publik.
Kedua, pemerintah menempuh konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi yang dimaksudkan di sini adalah menyamakan cara pandang seluruh elemen bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk menjalankan agenda-agenda demokrasi secara bersama-sama.
Teknis konsolidasi
Dari kedua model tersebut, konsolidasi demokrasi terasa lebih cocok dengan paham demokrasi Pancasila yang dianut oleh Indonesia. Untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi tersebut, kesamaan cara pandang menjadi kata kunci. Kesamaan cara pandang bukanlah penyamaan cara pandang.
Kesamaan cara pandang menuntut segenap elemen bangsa untuk meletakkan kepentingan kolektif nasional sebagai orientasi bersama, di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sedangkan penyamaan cara pandang cenderung bersifat top-down dari satu pihak kepada pihak lain, serta tidak demokratis, terlebih lagi Indonesia adalah negara yang sangat majemuk
Dalam model konsolidasi demokrasi tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan secara terukur dan berkesinambungan. Pertama, pelaksanaan checks and balances tetap berjalan secara konsisten antara pilar-pilar demokrasi yang ada, khususnya peran legislatif agar eksekutif tidak terjebak pada “patronage democracy” (Klinken 2009).
Kedua, esensi demokrasi adalah kepentingan rakyat. Oleh sebab itu, elemen-elemen inheren dalam rakyat, seperti masyarakat sipil atau masyarakat madani, harus tetap hidup dan dijaga eksistensinya. Jika checks and balances antara legislatif dan eksekutif berada dalam konteks suprastruktur politik, maka keberadaan masyarakat sipil adalah untuk menjalankan checks and balances dalam konteks struktur politik keseluruhan (infrastruktur dan suprastruktur politik).
Ketiga, rezim pemerintahan saat ini harus mampu menunjukkan kapasitas dalam mengayomi dan memenuhi kebutuhan rakyat. Situasi krisis saat ini seyogianya dapat dimaknai sebagai ekosistem yang baik bagi rezim penguasa untuk tumbuh dan berkembang, bergeliat dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang sangat dinamis. Jika hal itu mampu dilakukan, masyarakat akan mengenang rezim pemerintah saat ini sebagai rezim yang tangguh (resilient government) dan menjadi teladan bagi praktik-praktik pemerintahan di masa yang akan datang.