Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ancaman Pidana 10 Tahun Penjara Belum Sebanding dengan Penderitaan Bocah Korban Pesugihan
Keinginan saya agar para pelaku kekerasan fisik dan psikis yang mengakibatkan luka ekstrem pada anak dihukum seberat-beratnya.
Editor: Dewi Agustina
KETIKA anak dirudapaksa oleh orang dewasa, si pelaku diancam pidana 5-15 tahun. Jika pelakunya adalah orang tua si anak, pidananya ditambah sepertiga.
Lumayan berat hukuman bagi orang yang telah melakukan kebejatan seksual dengan efek jangka panjang terhadap lahir dan batin anak.
Tapi gilanya, ketika orang tua dengan paksa mengambil mata anaknya dengan kekerasan fisik, betapa pun itu juga mengakibatkan trauma jangka panjang (bahkan mungkin sepanjang hayat) pada diri si anak.
Tapi hukuman bagi pelakunya hanya penjara maksimal lima tahun. Tanpa pemberatan pula.
Jadi, walau saya sedih sekaligus marah luar biasa pada para pelaku kekerasan fisik yang mengambil paksa mata itu, namun kemurkaan saya tidak sungguh-sungguh terwakili oleh hukum (UU Perlindungan Anak) yang ada saat ini.
Keinginan saya agar para pelaku kekerasan fisik dan psikis yang mengakibatkan luka ekstrem pada anak dihukum seberat-beratnya, ternyata hanya "dipuaskan" oleh penjara antara 3,5 hingga 5 tahun.
Saya mencoba menenangkan hati dengan mendorong penerapan pasal eksploitasi terhadap anak.
Karena pesugihan dilakukan lewat 'pemanfaatan fisik' anak untuk tujuan ekonomi, maka definisi 'eksploitasi secara ekonomi' dalam UU Perlindungan Anak sudah terpenuhi.
Ancaman pidananya paling lama 10 tahun penjara.
UU Penghapusan KDRT juga memuat sanksi pidana yang sama, yakni penjara maksimal 10 tahun, bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Pidana eksploitasi memang lebih berat daripada pidana kekerasan terhadap anak (UU Perlindungan Anak).
Juga setara dengan pidana kekerasan dalam UU Penghapusan KDRT.
Tapi terus terang, itu tetap belum sebanding dengan penderitaan anak korban pesugihan itu.
Semoga masyarakat menemukan hukum adat yang memungkinkan pelaku penyiksaan anak diganjar sanksi jauh lebih berat lagi.
Jadi, perlukah diberlakukan diversi (penyelesaian masalah di luar sistem pidana konvesional)? Kenapa tidak?
Sepanjang sanksi adat dinilai lebih setimpal dengan perbuatan pelaku dan lebih mewakili suasana batin masyarakat, maka terapkan saja.
Sekaligus, apa boleh buat; kita patut takar kembali seberapa jauh filosofi pemasyarakatan (reintegrasi) tetap ingin kita terapkan dalam kasus pengambilan paksa mata anak.
Oleh: Reza Indragiri Amriel
Ahli Psikologi Forensik dan Dosen