Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dari Ketum ke Rais ‘Amm PBNU; Menagih Janji Jargon Al-Muhafazhah
Sampai di level ini, pemilihan Rais ‘Amm Syuriyah maupun Ketum Tanfidziyah seakan-akan dua dimensi yang terpisah
Editor: Husein Sanusi
Dari Ketum ke Rais ‘Amm; Menagih Janji Jargon Al-Muhafazhah
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama kemarin merekomendasikan Muktamar NU ke-34 akan diselenggarakan pada Desember 2021. Otomatis akan ada pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah dan Rais ‘Amm Syuriyah. Namun yang jauh lebih menarik sebenarnya adalah soal tradisi pemilihan itu sendiri, yang stagnan tanpa perubahan, seakan-akan menjadi tradisi yang tidak mau berkembang.
Sejak pertama kali Rais ‘Amm Syuriah dipegang oleh Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari (1926-1947) sampai era Kiyai Miftachul Akhyar (2018-sekarang), tidak ada satupun Rais ‘Amm Syuriyah yang berasal dari Tanfidziyah. Begitu pun, sejak Ketum Tanfidziyah dipegang oleh Kiyai Hasan Gipo (1926-1952) sampai era Kiyai Said Aqil Siradj (2010-sekarang), tidak ada satupun Ketum Tanfidziyah yang naik ke Syuriyah.
Sampai di level ini, pemilihan Rais ‘Amm Syuriyah maupun Ketum Tanfidziyah seakan-akan dua dimensi yang terpisah. Tidak ada pintu dan celah yang menghubungkannya. Pengurus Tanfidz tidak bisa masuk ke Syuriyah, begitu pula Pengurus Syuriyah tidak ada yang berasal dari Tanfidz. Model ini menjadi tradisi tersendiri yang bertahan hingga sekarang, dan sejalan dengan prinsip al-muhafazhah ‘alal qadimis sholih.
Tradisi pemilihan ini perlu mendapatkan sentuhan yang lebih artistik lagi. Sudah saatnya mencoba membuka ‘kran’ dan saluran penghubung antar dua lembaga; tanfidz dan syuriyah. Mencoba sesuatu yang baharu, selagi itu lebih baik, maka tidak bertentangan dengan spirit kita, yaitu al-akhdzu bil jadidil ashlah. Prinsip al-akhdzu akan terasa berat bagi siapapun yang fanatik dengan prinsip al-muhafazhah.
Dalam praktiknya, prinsip al-akhdzu bil jadidil ashlah dapat diwujudkan dengan mendobrak tradisi yang ada. Misalnya, Ketua Umum Tanfidziyah secara otomatis menjadi Rais ‘Amm di Syuriyah. Atau, minimal, seluruh pengurus Tanfidziyah adalah nama-nama potensial yang akan dipilih oleh dewan Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) untuk menjadi Rais ‘Amm.
Bagaimana pun, mendobrak tradisi lama dengan berpegang pada al-akhdzu bil jadidil ashlah tidak mengurangi otoritas AHWA yang berwenang memusyawarahkan calon Rais ‘Amm. Bahkan, dobrakan ini akan membantu AHWA meringankan beban dalam memilih Rais ‘Amm. Bagaimana tidak, sementara para pengurus Tanfidziyah, lebih-lebih demisioner Ketum Tanfidz, telah banyak berjasa dalam pengabdian pada Ormas NU.
Melapangkan jalan bagi para pengurus tanfidz untuk melanjutkan pengabdian maupun perjuangan mereka di tingkatan syuriyah adalah amal jariyah terbesar bagi forum AHWA. Apalagi ada pengurus tanfidz yang berhasil mengabdi di jabatan sebagai Rais ‘Amma, itu akan jadi catatan sejarah sepanjang perjalanan NU.
Hubungan Tanfidziyah dan Syuriyah kita bisa sederhanakan bagaikan hubungan ruh/ide dengan raga/materi. Lembaga Syuriah berdasar Anggaran Dasar Pasal 18 bertugas dan berwenang membina dan mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi sesuai tingkatannya. Sedangkan Tanfdziyah berdasar Anggaran Dasar Pasal 19 bertugas dan berwenang menjalankan pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi sesuai tingkatannya. Jadi, hubungan ini adalah hubungan pengawas dan pelaksana.
Secara semantik, pengawas semestinya lebih berpengalaman dari pelaksana. Karena seorang pengawas lebih mengerti konsep besar dan tekniks pelaksanaan di lapangan. Sedangkan pelaksana hanya sebatas kepanjangan tangan untuk melaksanakan keputusan. Masalahnya, logika pengawas dan pelaksana ini akan bermasalah apabila pihak pengawas tidak pernah berpengalaman sebagai pelaksana.
Sebaliknya, akan lebih ideal apabila seorang pengawas pernah sebelumnya menjadi pelaksana. Akan lebih ideal apabila Rais ‘Amm pernah sebelumnya menjadi Ketua Umum. Seorang Rais ‘Amm yang pernah menjadi Ketua Umum, akan jauh lebih komprehensif memahami persoalan dari pada Rais ‘Amm yang belum pernah menjadi Ketua Umum.
Berikutnya, mendobrak tradisi dengan mengangkat Ketua Umum sebagai Rais ‘Amm adalah strategi yang paling dibutuhkan di jaman sekarang. Seandainya Rais ‘Amm itu bisa diibaratkan sebagai ruh bagi tubuh manusia dan Ketua Umum itu adalah tubuh itu sendiri, maka penyatuan ruh dan raga adalah kombinasi paling ideal. Rais ‘Amm yang pernah jadi Ketua Umum adalah lebih ideal dari yang belum pernah.
Begitupun bagi pribadi Ketua Umum sendiri, ada manfaat besar bila mendapatkan ruang dan kesempatan untuk menjadi Rais ‘Amm. Hal yang sama berlaku apabila para pengurus tanfidziyah mengabdi dan berjuang di tingkat syuriah. Kaderisasi berjalan dengan sistematis-mekanistik. Dan pada saat yang sama, para pengurus syuriyah dapat melanjutkan pengabdiannya di jenjang mustasyar, bahkan menjadi anggota abadi dewan mustasyar.
Mendobrak tradisi lama yang jumud dan tidak berkembang, dimana tak ada satupun sejarah mencatat ketua tanfidz menjadi rais syuriyah, juga berguna mengurangi konflik. Kita masih ingat Muktamar ke-33 di Jombang 2015. Ada pihak-pihak tertentu yang melukai citra kehormatan anggota AHWA. Menuduh forum AHWA cacat hukum dan lain sebagainya. Hal semacam ini tidak boleh terjadi pada Muktamar ke-34 2021 ini.
Munas NU kemarin merekomendasikan pemilihan Ketua Umum Tanfidz akan menggunakan voting, one man one vote. Itu sangat demokratis. Potensi konflik akan minim. Paling-paling ada penolakan atas hasil perhitungan suara, sebagaimana yang lazim terjadi pada pemilihan presiden, gubernur, dan bupati. Konflik yang lahir dari proses demokratis akan selalu ada solusi demokratis pula.
Tetapi, konflik yang diarahkan untuk mendelegitimasi keputusan AHWA akan berdampak panjang. Sebab, AHWA bukan forum demokratis, melainkan forum perwakilan. Bagaimana mungkin 9 orang anggota AHWA akan memuaskan seluruh peserta muktamar. Ibarat kata, forum AHWA ini mewakili spirit demokrasi terpimpin, yang sejatinya sudah lama kita tinggalkan dalam kehidupan bernegara.
Untuk itulah, untuk menjamin produk AHWA betul-betul demokratis, Rais ‘Amm harus dipilih dari para pengurus NU yang sudah mengabdi di tingkat Tanfidz. Apalagi Rais Amm yang dipilih adalah demisioner Ketua Umum, maka pilihan AHWA sudah sangat tepat. Jika pun AHWA keberatan memilih Ketua Umum menjadi Rais ‘Amm, setidaknya Rais ‘Amm di masa depan berasal dari Kepungursan Tanfidziyah yang pengabdiannya pada NU sudah teruji. Ini akan menjadi sejarah baru. Wallahu a’lam bis shawab.
*_*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_