Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dua Kali Ketum Tanfidz, Kiyai-Profesor Said Aqil Siradj Paling Layak di Rais ‘Amm PBNU
pemilihan Ketua Tanfidz mirip dengan pemilihan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq yang terbuka
Editor: Husein Sanusi
Dua Kali Ketum Tanfidz, Kiyai-Profesor Said Aqil Siradj Paling Layak di Rais ‘Amm PBNU
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Sudah jamak diketahui tidak ada seorang demisioner Ketum PBNU diberi kesempatan berkhidmah di tingkatan Syuriyah, khususnya sebagai Rais ‘Amm. Jika pemilihan Ketum Tanfidziyah bersifat “demokrasi-terbuka”, maka pemilihan Rais ‘Amm bersifat “demokrasi-terpimpin” melalui mekanisme Ahlul Halli wal ‘Aqdi (AHWA). Dua ciri ini menunjukkan NU sangat plural.
Pluralitas pemilihan ini sebenarnya sama rentannya. Pada pemilihan Ketua Tanfidziyah, misalnya, wilayah dan cabang terjebak pada konsep “one man one vote for one man” (satu orang punya hak suara satu untuk memilih satu orang). Anda bisa bandingkan sendiri dengan fenomena pemilihan presiden, gubernur, bupati, hingga kepala desa. Itu juga yang terjadi di muktamar.
Sementara pada pemilihan Rais ‘Amm di level Syuriyah, para muktamirin (peserta muktamar) terjebak pada hipotesa “some qualified men for one man” (sekumpulan orang berkualitas punya hak suara untuk satu orang). Jika sekilas mengenang sejarah, kita pernah punya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sempat menjadi Lembaga Tertinggi Negara, sehingga berwenang memilih presiden. MPR dulu adalah AHWA hari ini.
Dengan begitu, pemilihan Ketua Tanfid dapat disebut demokrasi terbuka, karena setiap orang (wilayah/cabang) bebas memilih jagoannya. Sedangkan pemilihan Rais ‘Amm harus dipimpin oleh sekumpulan orang yang “dinilai” unggul dalam segala bidang; keilmuan, keagamaan, akhlak, dan lainnya. Sekumpulan anggota AHWA menjadi tim formatur, yang memilih Rais ‘Amm karena “diyakini” mereka adalah kumpulan orang terbaik di antara yang terbaik.
Baik konsep konsep “one man one vote for one man” maupun hipotesa “some qualified men for one man” sama-sama rentan. Aspek kerentanan ini muncul karena hakikat organisasi itu sendiri merupakan dimensi struktural-manajerial. Keniscayaan adanya jenjang karier adalah sebuah kebutuhan dasar. Terkecuali organisasi politik, maka posisi strategis tidak bisa ditempuh berdasar jenjang karier.
Dengan melihat mekanisme pemilihan ketua tanfidz maupun rais ‘amm pada muktamar NU ke-34 nanti, sudah jelas semuanya adalah politik. Bedanya saja, pemilihan Ketua Tanfid mirip dengan pemilihan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq yang terbuka dengan mengumpulkan dukungan suara Anshor Madinah maupun Muhajirin Makah. Pemilihan Rais ‘Amm mirip pemilihan khalifah Usman bin Affan setelah Umar bin Khattab membentuk tim formatur lebih dahulu.
Pertanyaannya, mengapa harus langsung melompat meniru proses pemilihan khalifah Usman bin Affan oleh tim formatur yang hari ini kita kenal sebagai AHWA? Mengapa kita tidak coba dulu proses pemilihan khalifah Umar bin Khatthab yang ditunjuk langsung oleh khalifah Abu Bakar? Apa alasan Usman lebih baik dari Umar?
Di era modern, kita harus lebih rasional dalam berorgasisasi, terutama soal manajemen keorganisasian. Sebelum lebih jauh ke sana, penulis ingin kembali mengenal tokoh-tokoh besar dalam tafidziyah, sebagai berikut dan masa jabatan mereka. Hasan Gipo 26 tahun (1926-1952), Idham Chalid 32 tahun (1952-1984), Abdurrahman Wahid 15 tahun (1984-1999), Hasyim Muzadi 11 tahun (1999-2010). Said Aqil Siradj 11 tahun (2010-2021).
Dari semua nama kiyai, alim ulama’, dan ‘allamah di atas, tidak satu pun yang kemudian ditunjuk untuk menjadi Rais ‘Amm, sebagai Umar ditunjuk oleh Abu Bakar menjadi Khalifah. Tidak ada sejarahnya Ketua Tanfidziyah ditunjuk jadi Rais ‘Amm Syuriyah. Sementara kita tahu, prestasi Umar bin Khatthab terhadap perluasan jangkauan Islam sangat besar dibanding tiga khalifah lainnya. Ini indikator awal efektifitas dan efisiensi model pemilihan khalifah ala Abu Bakar yang dipraktikkan pada Umar.
NU perlu melakukan terobosan baru, untuk tetap menyandang gelarnya sebagai organisasi kebangkitan kaum intelektual (Nahdlatul Ulama). Arti dari kebangkitan/nahdlah itu sendiri adalah terbebas dari kubangan pemikiran yang stagnan. Tradisi lama yang perlu kita bongkar adalah tidak adanya ketua tanfidz yang berhasil menjadi rais ‘amm. Jika pun muktamar 34 ini gagal membongkar tradisi itu, penulis yakin, generasi masa depan entah kapan akan melakukannya.
Melawan keniscayaan perubahan sama saja melawan sunnatullah. Hukum alam di dunia yang material ini adalah gerak perubahan itu sendiri. Allah telah menciptakan kehidupan di bumi untuk terus bergerak dan berubah. Jika kita baru berapa tahun mengenal mekanisme AHWA yang sebelumnya belum dikenal, berarti kita terbuka peluang untuk mengenal mekanisme lain lagi yang lebih baru, seperti penunjukan Ketuan Tanfid menjadi Rais ‘Amm.
Rais ‘Amm itu adalah puncak kepemimpinan dalam organisasi NU. Orang yang layak mengisinya hanya mereka yang berpengalaman sebagai eksekutif (Tanfidziyah), di era sekarang kebetulan saja adalah Prof. KH. Said Aqil Siradj. Di masa-masa yang akan datang, Rais ‘Amm akan diisi oleh demisioner Ketua Tanfidz secara periodik dan berjenjang. Jika seorang tokoh telah berpengalaman dua atau tiga kali menjadi Tanfidz, maka ia otomatis berhak menjadi Rais ‘Amm.
Karena itu pula, peran AHWA sejatinya lebih dibutuhkan untuk mengawal proses pemilihan ketua Tanfidz dari pada Rais Amm. Sebab, kehadiran moralitas AHWA akan membatasi ambisi tak terkendali dari sistem demokrasi terbuka sebagaimana dalam jargon “one man one vote for ona man.” AHWA misalnya hadir dengan menawarkan dua tiga calon ketua tanfidz, untuk kemudian dipilih secara voting oleh wilayah dan cabang secara demokratis dan liberal.
Bukankah kita masih ingat proses pemilihan khalifah Usman bin Affan? Sekalipun tim formatur sudah terbentuk, calon di dalamnya ada dua nama: Ali dan Usman, dengan syarat tidak memilih Abdullah Putra Umar sendiri. Apa arti sejarah ini jika bukan tim formatur tidak berwenang menghadirkan satu nama saja, tanpa alternatif?! Jika AHWA beroperasi di ranah Syuriah seperti kemarin dan kemungkinan di muktamar 2021 ini, maka ada misunderstanding tentang sejarah.
Terakhir, Prof. DR. KH. Said Aqil Siroj (demisioner Ketua Tanfidz) memang layak menjadi Rais ‘Amm, karena pengalamannya di Tanfidz, bukan saja karena kefigurannya secara kultural. Wallahu a’lam bis shawab.*
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.