Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hassan Hanafi, Penggerak Peradaban Berbasis Aqidah Islam
Perubahan kehidupan yang terus-menerus inilah, bagi Hanafi, menuntut analisa rasional
Editor: Husein Sanusi
Hassan Hanafi, Penggerak Peradaban Berbasis Aqidah Islam
*Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA
TRIBUNNEWS.COM - Hassan Hanafi (86), intelektual Mesir didikan Perancis, berhasil menjadikan aqidah Islam sebagai basis gerakan membangun peradaban. Umat muslim Indonesia dapat mengujinya berdasar pengalaman kebangsaannya sendiri. Lebih-lebih, perdebatan aqidah Islam sering dijadikan alasan membenturkan keislaman dengan keindonesiaan atau kenusantaraan.
Dalam “Minal ‘Aqidah ilas Tsaurah” jilid 1, terbitan Dar at-Tanwir, Beirut, Hassan Hanafi membahas kemutlakan Allah swt. Penjelasan tentang-Nya di dunia ini tidak terbatas. Wujud-Nya mutlak. Sedangkan kemampuan manusia mengungkap dzat-Nya terbatas (Hanafi, 1988: 8).
Prinsip aqidah semacam itu penting, supaya umat muslim lebih bersikap pluralis, menghindari memutlakkan diri sendiri dan kelompok. Karena bagi Hassan Hanafi, prinsip dasar karakter kehidupan di alam raya ini adalah keragaman, perubahan terus-menerus, tanpa kepastian, dan bersifat hipotesis semata (Hanafi, 1988/1: 9).
Sementara itu, tindakan memutlakkan diri sendiri dan kelompok, ormas keagamaan maupun partai politik, adalah tindakan yang berseberangan dengan prinsip keragaman kehidupan. Apalagi kejumudan berpikir, bertentangan dengan prinsip perubahan ke arah lebih baik.
Perubahan kehidupan yang terus-menerus inilah, bagi Hanafi, menuntut analisa rasional. Seorang dituntut mampu mendialektikakan pemikiran (afkar) dengan peristiwa/pengalaman hidup (waqa'i'). Dari dialektika rasionalitas dan empirisitas ini lahir pengetahuan tentang benar dan salah; baik-buruk ; haq dan batil (1988/1:10).
Karena itulah, umat muslim tidak boleh menutup diri, sebaliknya harus selalu terbuka untuk berdialog dengan kepala dingin; menyikapi perbedaan dengan arif bijaksana; pintar mengatur nafas agar tidak emosi melihat orang lain berseberangan dengan pilihan jalan hidup dirinya sendiri. Kesadaran ini harus dimiliki oleh setiap individu muslim.
Bagi Hassan Hanafi, kesadaran individual (al-wa'yu al-fardiy) adalah komponen penting perubahan. Berangkat dari kesadaran individual inilah, upaya penguatan-pemberdayaan publik (tanjid al-jamahir) dapat dilakukan. Karena perubahan besar dalam kehidupan tidak datang dari faktor eksternal (fi'l kharijiy), melainkan dari gerak perubahan di dalam diri setiap individu manusia.
Perubahan lahir dari kesadaran individu yang menjelma kesadaran kolektif, wa'yu al-jamaah (1988/1: 11).
Pepatah bijak mengatakan, rubahlah dirimu sendiri sebelum merubah orang lain. Ini bagaikan prinsip keteladanan. Jadilah teladan kehidupan terlebih dahulu maka kehidupan pasti akan ikut meneladani. Pemikiran Hassan Hanafi sangat jenius dan brilian.
Selanjutnya, dalam membicarakan pemberdayaan umat, Hassan Hanafi menekankan prinsip keadilan sosial. Nazhariyatul af'al hiya lubbul 'adl. Pemikiran apapun tentang masyarakat adalah untuk mewujudkan keadilan. Sama halnya ketika bicara ketuhanan, maka inti paling utamanya adalah tauhid. Begitu kita bicara kemanusiaan, maka intinya adalah keadilan sosial (1988/3: 7).
Keadilan sosial hari ini menjadi problematik. Bukan hanya karena banyak manusia yang condong berperilaku tidak adil apalagi saat berkuasa, tetapi ketidakadilan itu sendiri mustahil dihapus dari muka bumi. Prinsip ini menemukan pijakannya dalam pemikiran Hassan Hanafi ketika ia membahas arti kebebasan manusia. Di era kontemporer, menurut Hassan Hanafi, kebebasan manusia agar bisa dinilai dengan baik atau buruk bersifat jawaz, bukan mutlak. Artinya, manusia memiliki kebebasan untuk memilih, baik melakukan kebaikan atau keburukan (1988/3: 12).
Untuk mewujudkan keadilan sosial, manusia harus melawan kehendak bebas manusia lain yang mengarah pada ketidakadilan. Mewujudkan keadilan sosial adalah tugas pemberdayaan umat manusia secara umum. Ini dasar pergerakan kita. Namun masalahnya, dengan keadilan tersebut, apa yang hendak diraih kemudian? Jika kesejahteraan dan kebahagiaan maka jenis sejahtera dan bahagia macam apa?
Hassan Hanafi kemudian mengkritik kelompok manusia yang hanya mengejar kebahagiaan dan kesejahteraan material, sebagaimana kelompok yang terlalu mengedepankan kebahagiaan dan kesejahteraan spiritual. Ia menghadirkan jalan ketiga sebagai penggabungan dua paradigma sebelumnya. Manusia adalah ruh sekaligus badan, tanpa ada pemisah di antara keduanya. Manusia adalah manusia, tidak perlu dilebih-lebihkan sebagai ruh ilahiah dan tidak perlu dikurang-kurangi dari sekedar tubuh jasmani (1988/4: 500-502).
Karena itulah, keadilan sosial harus mampu menghasilkan kontribusi konkrit berupa terpenuhinya hajat hidup manusia, baik yang bersifat material maupun spiritual. Cita-cita semacam ini harus tumbuh dan bermula dari kesadaran individual muslim sampai menjelma kesadaran kolektif. Inilah yang menjadi inti pemikiran Hassan Hanafi dalam membangun peradaban berbasis aqidah Islam.
‘Aqidah Islam bagi Hassan Hanafi adalah dasar gerakan membangun peradaban manusia yang utuh, yang memenuhi hajat kebutuhan ruhaniah maupun badaniah manusia. Aqidah Islam tidak bisa dipakai sebagai alasan menciderai kesejahteraan dan kebahagiaan psikis maupun fisik manusia. Karenanya, mustahil aqidah Islam dihadirkan dengan wajah yang garang menyeramkan, melahirkan teror, destruktif. Aqidah Islam adalah Aqidah pembangunan. Wallahu a’lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*