Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Gus Miftah, Menimbang Visi Kebangsaan Rumah Asa

Idealisme Gus Miftah tidak berhenti pada tataran wacana semata. Melalui “Rumah Asa” yang dirintisnya, visi kebangsaan Gus Miftah lahir menjadi gerakan

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Gus Miftah, Menimbang Visi Kebangsaan Rumah Asa
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Gus Miftah, Menimbang Visi Kebangsaan Rumah Asa

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

TRIBUNNEWS.COM - Semua orang mengenal Gus Miftah (Miftah Maulana Habiburrahman). Da’i muda yang mengasuh Pondok Pesantren Ora Aji di kota Pelajar, Sleman Yogyakarta. Darah biru yang mengalir pada dirinya berasal dari Kiyai Ageng Hasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari abad 19 di Ponorogo. Kombinasi darah ulama dan atmosfer ideal Yogyakarta membentuk kepribadian Gus Miftah sebagai bagian generasi milenial.

Idealisme Gus Miftah tidak berhenti pada tataran wacana semata. Melalui “Rumah Asa” yang dirintisnya, visi kebangsaan Gus Miftah lahir menjadi gerakan konkrit. Rumah Asa merupakan “imagined-community” sebagai solusi atas problematika bangsa dan negara, seperti intoleransi, kekerasan, radikalisme, fundamentalisme, anti-lokalitas. Gus Miftah membayangkan masa depan bangsa yang toleran, pluralis, humanis, berbudaya, memegang jati diri.

Toleransi di Indonesia adalah topik yang tidak ada habisnya. Walaupun kampanye toleransi terus digalakkan, agar bangsa Indonesia hidup rukun, harmonis, guyub, saling asah saling asuh, tetapi nyatanya berbagai tantangan dan rintangan selalu muncul. Selalu saja ada cara menjadikan agama sebagai alasan utama perpecahan bangsa. Entah kekuatan apa yang membuat mereka tidak pernah lelau menciptakan keresahan masyarakat dan social chaos.

Gus Miftah menyadari satu hal penting, yaitu simpul-simpul generasi milenial yang tidak bisa dipisahkan dari popularisme dan teknologi. Ia mengambil satu strategi untuk menggandeng selebritis-selebritis tanah air, yang memiliki massa followers, subscribers, dan pertemanan dunia maya yang besar, antara lain: Deddy Corbuzier, Atta Halilintar, Raffi Ahmad, Rizky Billar.

Strategi menggandeng selebritis tanah air yang Gus Miftah lakukan bisa dibaca dengan dua cara. Pertama, sebagai relasi atau networking personal Gus Miftah, karena jaringan pertemannya memang banyak dari kalangan artis. Kedua, sebagai counter strategi kepada da’i-da’i dan ustad-ustad selebritis yang memanfaatkan pola yang sama untuk menebar fitnah kebangsaan, memecah belah umat dengan argumen keagamaan.

Berita Rekomendasi

Rumah Asa yang Gus Miftah rintis berencana memanfaatkan podcast. Ini bagian dari pemanfaatan teknologi digital yang efektif, di satu sisi. Di sisi lain, hemat penulis, dai-dai dan ustad-ustad yang menebar kebencian dan perpecahan umat memang memanfaatkan teknolog digital informasi untuk kepentingan mereka. Ada counter strategi dengan instrumen yang sama.

Keyakinan penulis, massa aktif aliran kelompok pemecah belah bangsa tidak banyak. Mereka golongan minoritas di tengah mayoritas yang menghendaki hidup damai, tenang, harmonis, menghargai perbedaan. Tetapi, karena profesionalitas mereka dan gerakan massifnya menggunakan alat komunikasi modern maka kesan pertama yang muncul adalah besarnya pengikut. Mau tidak mau, konten-konten yang mengkampanyekan perdamaian harus jauh lebih massif.

Rumah Asa yang didirikan Gus Miftah, dengan begitu, memegang tiga kata kunci: toleransi, selebritis-milenial, serta teknologi digital-informasi. Ada harapan besar dari publik, Rumah Asa menjadikan toleransi semangat bersama kalangan selebritis milenial yang disebarkan kepada publik seiring perkembangan teknologi informasi. Mekanisme ini cukup representatif untuk menangkal gerakan intoleransi yang dipicu oleh sebagian kecil ustad-da’i selebritis milenial melalui teknologi digital dan media sosial.

Kehadiran Gus Miftah di panggung “baru” semacam ini dapat dikatakan melengkapi perjuangan kiyai-kiyai dan ulama-ulama sepuh yang bergerak di akar rumput, di kampung-kampung, yang jauh dari wacana milenial, bersentuhan langsung dengan kehidupan dan kebutuhan praktis masyarakat. Karena hidup terlanjur berubah dengan pola tanpa preseden sebelumnya, maka gaya dakwah milenial pun harus berubah. Gus Miftah ambil bagian di sana.

Secara penampilan fisik, Gus Miftah cukup menyesuaikan. Kadang kala berpenampilan dengan kostum yang sarat nilai-nilai budaya, seperti mengenakan blangkon dan sarungan. Di lain waktu, ia tampil di publik dengan kaos oblong, celana, dan kacamata hitam. Ada kebebasan dalam berpenampilan untuk disesuaikan dengan suasana kaum milenial, lingkungan selebritis, dan kepentingan performan di medsos. Ini tidak mungkin dilakukan oleh ulama-ulama dan kiyai-kiyai sepuh yang akrab dengan jubah, sorban, peci, sarungan, dan baju berkerah.

Secara semiotik, penampilan Gus Miftah dapat dibaca sebagai adanya kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan mad’u (sasaran dakwah). Selagi cita-cita Rumah Asa untuk membangun kehidupan yang toleran-harmonis bisa dicapai, maka urusan penampilan bisa menyesuaikan. Bagi generasi milenial yang ingin beragama dengan santun, ramah, penuh kasih sayang, mereka tidak harus meninggalkan performan yang fashionable dan trendy.

Gus Miftah hanya ingin menyampaikan substansi dari beragama, yaitu cinta damai, penuh kasih sayang, toleran dengan menghargai keragaman hidup, dan tidak menjadikan agama sebagai alat pemecah belah umat. Substansi ini jauh lebih penting dari performan, karena penampilan boleh berubah tetapi substansi harus tetap. Gaya-gaya ini bisa ditelusuri dari cara dakwah Walisongo.

Dalam rangka mengislamkan seluruh umat di tanah Nusantara, Walisongo mengajarkan substansi Islam, dengan membiarkan performa adat kebudayaan dan tradisi lokal masing-masing tempat tetap bertahan. Di era Walisongo, tidak ada penghancuran terhadap candi-candi. Prambanan di Yogyakarta dan Borobudur di Magelang Jawa Tengah tetap berdiri kokoh bersamaan dengan Islamisasi. Hanya di era milenial sekarang, pengrusakan terhadap rumah ibadah sering terjadi.

Gus Miftah melalui gagasan Rumah Asa menghidupkan kembali asa umat untuk mendapatkan kehidupan di masa depan yang lebih toleran, harmonis, guyub rukun. Sebenarnya, bukan hanya Gus Miftah, tetapi teman-teman Gus Miftah seperti Deddy Deddy Corbuzier, Atta Halilintar, Raffi Ahmad, dan Rizky Billar juga diharapkan mampu dan berhasil membumikan spirit toleransi, kehidupan harmonis, dan cinta damai kepada followers, subscibers, dan teman-teman mereka di dunia maya. Amin.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas