Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pengabdian Tulus PKB pada NU dan Balasan NU
kyai-kyai NU masa lalu, mereka tidak saja berjuang mengubah kebijakan politik Arab Saudi, mereka juga mantap melangkahkan kaki.
Editor: Husein Sanusi
Pengabdian Tulus PKB pada NU, dan Balasan NU
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Nahdlatul Ulama (NU) lahir sebagai aktor diplomasi kultural di level internasional pada tahun 1926. Ulama dan Kyai Nahdliyyin "menawar" kebijakan politik Kerajaan Arab Saudi yang ingin menghapus jejak kebudayaan Islam masa lalu. Kyai NU berangkat atas nama Komite Hijaz, dan karena butuh pijakan administratif yang kuat maka NU sebagai ormas dibentuk untuk melegitimasi secara formal visi misi Komite ini. Jika ini tidak disebut politik kekuasaan, maka jauh tidak tepat lagi untuk menyebutnya sebagai politik kebangsaan.
Kekuasaan disebut juga power. Kekuasaan sudah lazim menjadi kajian ilmu politik maupun humaniora. Dalam pandangan ilmu politik, Robert A. Dahl (957) menawarkan pengertian konseptual politik kekuasaan sebagai kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu, sehingga orang lain tidak punya pilihan lain. Bukankah ini juga yang terjadi pada NU 1926 dan Kerajaan Arab Saudi? Berkat diplomasi kultural, kyai NU berhasil mencegah kebijakan politik Saudi yang ingin menghancurkan makam Rasulullah Saw dan para sahabat kala itu.
Gagasan kembali ke Khittah NU 1926 akan menjadi absurd sekali bila dipahami NU mengisolasi diri dari lingkaran kekuasaan di tingkat nasional apalagi global. Malahan sebaliknya, Khittah NU 1926 adalah pijakan politik kekuasaan yang paling kokoh, karena NU tidak boleh menjadi ormas lokal, melainkan harus memantapkan diri menjadi ormas global. Adalah cita-cita absurd dan irrelevan apabila ingin berkontribusi pada dunia jika di tingkat domestik saja menjadi aktor pinggiran.
Jika Khittah NU '26 dipahami sebagai upaya mengisolasi diri maka jelas itu tidak relevan dengan kenyataan NU hari ini. NU kini sudah bukan lagi NU zaman dulu. Cabang-cabang Istimewa NU bertebaran di seluruh negara di dunia. Jika NU 1926 dulu mampu mempengaruhi dan mengubah kebijakan politik Kerajaan Arab Saudi, maka NU hari ini dan masa depan harus lebih mampu mengubah dan mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara di dunia. Jika tidak maka substansi Khittah '26 gagal dimengerti.
Pemahaman yang gagal tentang substansi Khittah '26 tampaknya lahir dari upaya penyelewengan. Yaitu oleh mereka yang minder untuk merebut kekuasaan. Kemudian memilih untuk tidak berjuang dan tidak upgrade kapasitas maupun kualitas dirinya. Padahal, jika mau jujur meneladani kyai-kyai pendiri NU 1926, mereka adalah intelektual sekaliber internasional. Pengaruh gagasan mereka mampu mengubah politik negara lain. Hari ini hanya hitungan jari kyai-kyai NU yang mampu mengubah kebijakan politik negara lain. Jangankan itu, mengubah kebijakan pemerintah sendiri masih kesulitan.
Menurunnya kekuasaan kyai-kyai NU tahun 1980-an dibanding kyai-kyai NU tahun 1926-an, menuntut perubahan strategi. Yaitu, mencetuskan ide Kembali ke Khittah '26 pada Muktamar tahun 1984. NU tidak mampu lagi memengaruhi kebijakan politik dalam negeri yang dikuasi orde baru yang otoriter-represif. Sudah pasti pula NU kala itu tidak punya power (powerless) di tingkat internasional. Jadi, ide kembali ke Khittah '26 adalah jeda rehat sejenak. Strategi temporal, yang tidak kontekstual jika tetap dipertahankan hingga hari ini.
Para pendukung yang ngotot agar NU tidak menyentuh politik kekuasaan, hanya benar jika dasar argumentasi mereka adalah rasa minder, tidak percaya diri, dan mereka bisa mengumpulkan bukti-bukti sebanyak mungkin yang mampu mereka kumpulkan untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan internal NU. Semakin banyak bukti yang terkumpul maka semakin kuat alasan mereka untuk tetap memilih politik kebangsaan, menjauhi politik kekuasaan. Namun begitu, ini hanya perilaku pribadi-pribadi yang minder, kecil hati.
Padahal, kyai-kyai NU masa lalu, mereka tidak saja berjuang mengubah kebijakan politik Arab Saudi, mereka juga mantap melangkahkan kaki bergabung ke maupun keluar dari Partai Masyumi. Baru kemudian setelah Rezim Orde Baru Soeharto mampu menaklukkan dan meremukkan kekuatan NU, maka NU menerima asas tunggal Pancasila dan memilih mengisolasi diri dari lingkaran kekuasaan. Ini semua adalah konteks saat NU lemah, yang kemudian melahirkan rumusan ide kembali ke Khittah '26 pada tahun 1984.
Di masa-masa yang akan datang, di saat rezim jahat otoriter orde baru sudah lenyap untuk selamanya, NU sudah tidak lemah. Dan tidak boleh terus-menerus dilemahkan. Satu-satunya cara yang paling efektif "melemahkan" NU adalah tetap menjauhkan NU dari kekuasaan, sebagaimana pernah terjadi di era orde baru, dan tidak pernah terjadi di era orde lama maupun era kolonial. Karena, pengusung ide NU harus dijauhkan dari kekuasaan adalah orang-orang yang bermental pendukung orde baru Soeharto.
Kader-kader PKB adalah salah satu contoh tentang santri yang ingin mengembalikan NU ke pusat kekuasaan. Spirit kader PKB sama seperti spirit kyai-kyai NU tahun 1926, yang ingin membawa ideologi NU ke pentas global internasional, bukan semata-mata berkutat di level domestik. Spirit kader PKB adalah spirit kyai dan santri yang dulu mengajak NU bergabung ke Masyumi dan keluar dari Masyumi lalu mendirikan partai politik sendiri. Spirit kader PKB adalah spirit yang bulat mengeluarkan NU dari situasi termarjinalkan seperti terjadi di era orde baru Soeharto.
PKB hari ini memang tidak banyak berkontribusi pada NU. PKB hanya mampu memberikan kontribusi kecil, kado sederhana, berupa Hari Santri Nasional, Undang Undang Pesantren, dana abadi pesantren, mengangkat martabat kaum petani-nelayan hahdiyyin, mengantar kader terbaik NU di kursi kekuasaan dari DPRD, DPR RI, Gubernur, Bupati Hingga RI 2. Untuk alasan itulah, demi pengabdian PKB pada NU, demi memenuhi seluruh kebutuhan NU khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, maka NU-PKB tidak boleh dipisahkan. Untuk memisahkan PKB dari NU cukup dengan dua cara: menjadikan warga Nahdliyyin sebagai "tanah tak bertuan" dan mempertahankan ide politik kebangsaan, anti-politik kekuasaan.
Memang benar politik kekuasaan hari ini tercoreng oleh citra negatif elite-elite yang koruptif. Memang benar, hampir orang suci yang masuk ke kekuasaan menjadi orang yang najis. Tetapi, berteriak dari luar kekuasaan adalah tindakan mubadzir yang sia-sia. Itu sama saja dengan menghujat tempat-tempat maksiat, tetapi tidak mau terjun lapangan untuk mengetahui hakikat persoalan hidup mereka. Adalah mudah menjadi kyai-kyai yang berfatwa di atas mimbar dan podium, tetapi tidak mudah menjadi kyai-kyai yang mau memahami persoalan konkrit umat di lapangan, termasuk di dunia politik kekuasaan.
PKB adalah partai kyai dan santri yang terjun ke lapangan, yang menceburkan diri ke dalam hakikat persoalan politik di negeri tercinta ini. Jika PKB baru bisa berkontribusi kecil pada NU, bukan berarti PKB tidak ingin memberikan hal lebih bagi NU. Tetapi lebih karena kekuatan PKB sangat kecil. PKB hanya mendapatkan dukungan suara NU sebesar belasan juta suara, sedangkan NU memiliki ratusan juta massa. Siapa yang salah: PKB yang tidak maksimal, atau NU yang dijauhkan dari PKB?!
Pada Muktamar NU ke-34 nanti, mengembalikan NU ke PKB adalah topik sentral, untuk menyambut Pilpres 2024 nanti. Jika NU masih saja dijauhkan dari PKB, maka sudah pasti tahun 2024 nanti PKB akan kembali berjuang sendirian. Namun, sekalipun berjuang sendirian, dimana suara NU masih diberikan pada partai lain, PKB nyatanya tetap berkontribusi pada kyai, santri, pesantren. Ini yang akan menjadi tantangan keikhlasan bagi kader PKB. Walaupun dilupakan oleh ibu kandungnya sendiri, tetap akan mengabdi pada orangtuanya. Wallahu a'lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.