Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
KPU Menghadapi Tantangan Komunikasi di Era Disrupsi Teknologi Digital
Jangan sampai muncul lagi tuduhan KPU gagap dalam menangani setiap persoalan.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Hasanuddin Aco
TRIBUNNEWS.COM - Persoalan yang dihadapi KPU dari Pemilu ke Pemilu tetap sama.
Ada persoalan klasik dan persoalan temporer.
Persoalan klasik yang bisa ditemui setiap pemilu seperti partisipasi masyarakat ikut memberikan hak suara, sorotan publik soal integritas pelaksana pemilu di tingkat bawah, hingga pada persoalan krusial seperti kecurigaan terhadap daftar pemilih tetap.
Adapun persoalan yang sifatnya kontemporer ditemui setiap pemilu seperti isu politik uang, kampanye hitam atau black campaign hingga tuduhan mobilisasi aparatur negara.
Semua sepakat dua persoalan di atas sifatnya urgent dan harus dicarikan solusinya sehingga tidak menjadikannya seolah-olah tradisi buruk yang terus berulang setiap penyelenggaran pemilu serta dianggap lumrah.
Namun demikian ada persoalan lain yang tak kalah penting untuk diantisipasi Komisioner KPU ke depan yakni memetakan kemungkinan persoalan baru yang akan timbul di Pemilu 2024.
Persoalan baru di luar persoalan klasik dan temporer yang telah disebutkan di atas.
Sekadar gambaran, masih segar dalam ingatan kita pada Pemilu 2019 saat muncul persoalan baru yang begitu pelik yakni jatuhnya banyak korban jiwa petugas pemilu yang kelelahan karena pelaksanaan Pemilu serentak.
Patut diduga kasus tersebut di luar perhitungan KPU atau dengan kata lain KPU mungkin tidak menyangka akan jatuh korban jiwa manusia akibat pelaksanaan Pemilu Serentak.
Kita tidak menginginkan hal seperti itu terulang kembali di Pemilu 2024. Oleh karena itu, selain persoalan di atas, perlunya pemetaan yang sifatnya antisipatif akan munculnya persoalan baru di Pemilu 2024 yang harus diidentifikasi sejak dini sehingga bisa disiapkan perangkat hukum yang jelas serta teknis strategi penanggulangannya.
Jika melihat kondisi kekinian dan proyeksi pelaksanaan pemilu 2024 mendatang maka beberapa hal yang mungkin perlu diantisipasi seperti politik identitas, meningkatnya jumlah pemilih pemula, pandemi Covid-19 hingga potensi kerawanan sosial-keamanan lainnya.
Selain perangkat hukum yang perlu disiapkan maka langkah selanjutnya yang tak kalah penting adalah bagaimana mengkomunikasikan persoalan tersebut ke seluruh jajaran perangkat KPU dari pusat sampai ke daerah, sejak dini.
Komunikasi KPU secara kelembagaan dan individu komisioner KPU perlu mendapatkan penekanan dalam menghadapi persoalan yang setiap saat muncul terkait kepemiluan. Jangan sampai muncul lagi tuduhan KPU gagap dalam menangani setiap persoalan.
Persoalan 'KPU Gagap' ini sering dialamatkan kepada para komisioner ketika ada persoalan baru. Silahkan buka Google ketik kata kunci 'KPU Gagap' maka akan muncul sejumlah pemberitaan di media mengenai KPU yang terkesan gagap dalam bertindak.
Gagap identik dengan penyakit bicara yang biasanya diidap anak-anak karena tak tahu dan tak mampu bicara. Bisa juga dikaitkan dengan sikap grogi atau 'demam panggung'.
Dalam konteks KPU, kata gagap bisa diterjemahkan KPU belum mampu berkomunikasi dan mengkomunikasikan persoalan Kepemiluan yang kerap muncul secara tiba-tiba.
Padahal KPU telah memiliki perangkat hukum dan teknis pelaksanaan soal kepemiluan yang lengkap hingga mengatur hal-hal yang begitu detail dalam aturan pelaksanaannya.
Namun kembali lagi ke persoalan utama bagaimana mengkomunikasikan persoalan tersebut kepada publik sehingga KPU terlihat paham dengan persoalan yang ada dan tidak berkepanjangan yang dikhawatirkan mengganggu jalannya proses Pemilu.
Termasuk melanjutkan tradisi komunikasi yang sudah dilaksanakan KPU seperti sosialisasi pelaksanaan tahapan Pemilu dan Pilkada kepada masyarakat dengan mengajak masyarakat terutama pemilih berperan aktif dalam Pemilu.
Disrupsi Komunikasi KPU
Di era disrupsi seperti sekarang ini terjadi pergeseran dalam cara dan sikap kita berkomunikasi. Kebiasaan masa lalu kita kerap mengharuskan komunikasi dengan orang lain melalui tatap muka namun kini pandemi Covid-19 telah memberikan kebiasaan baru melalui daring.
Demikian pula sumber informasi publik saat ini tidak lagi hanya mengandalkan media konvensional tapi juga media digital seperti media sosial. Euforia kehadiran media sosial di tengah masyarakat belum juga pudar dan besar kemungkinan akan bertahan lama bahkan bisa jadi mengalami proses evolusi dalam bentuk lain yang lebih memikat masyarakat.
Dulu ketika belum muncul media sosial, mungkin informasi yang hendak di sampaikan KPU kepada publik cukup praktis hanya melalui media massa (media mainstrem). Namun kehadiran media sosial jelas menambah pekerjaan baru bagi KPU. Belum lagi hoaks yang muncul setiap saat seperti hantu gentayangan dan tak terbendung bak jamur yang tumbuh di musim hujan.
Media sosial bukan ancaman yang harus dihindari, ditakuti, atau diberangus melainkan partner yang harus dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan program dan hasil kinerja KPU kepada publik.
Hal itu tentu persoalan baru bagi KPU yang harus dilakukan pemetaan dengan seksama dan melalui riset seperti apa pengaruhnya terhadap kinerja KPU, pengaruhnya terhadap sosialisasi tahapan Pemilu serta apa manfaatnya buat masyarakat umum terutama pemilih.
Dan tentu saja bagaimana memproyeksikan pengguna media sosial pada Pemilu 2024. Apalagi pemilih pada 2024 mayoritas berasal dari kalangan milenial yang seperti kita ketahui mereka sangat melek digital, melek media sosial karena mereka banyak menghabiskan waktunya berselancar di media sosial Facebook, WhatsApp, Youtube, Twitter, Instagram, dan sebagainya.
Komunikasi dua arah antara KPU dengan publik harus terjaga dan dijaga sejak dini. Publik harus merasa memiliki KPU dan bangga dengan KPU.
Bagaimana menjadikan KPU dan publik seperti berada dalam satu jiwa dan raga. Suasana kebatinan itu harus dibangun sejak awal dan berlangsung terus menerus tidak hanya ketika berlangsung tahapan Pemilu.
Menjadikan KPU lembaga yang dicintai rakyat itu hal yang nomor satu. Ketika kepercayaan itu muncul maka sosialisasi tahapan Pemilu akan mudah disampaikan kepada masyarakat. Secara psikologis, dukungan dari masyarakat tersebut juga akan berdampak positif terhadap tingkat partisipasi pemilih jika KPU sebagai pelaksana Pemilu telah mendapatkan ruang di hati masyarakat.
Demikian pula ketika muncul persoalan baru tentang kepemiluan di kemudian hari maka akan mudah mengkomunikasikannya dan istilah 'KPU Gagap' semoga tidak akan muncul lagi di ruang publik. Istilah yang benr-benar sangat tidak elok diberikan kepada KPU karena seolah-olah lembaga penyelenggara Pemilu seperti anak-anak yang tak mampu berkata-kata dan terlihat bodoh menghadapi setiap persoalan.
Sekali lagi, kita tidak menginginkan persoalan baru yang setiap saat bisa muncul dihadapi oleh KPU dengan gagap lagi.
Oleh karena itu Komisioner KPU harus visioner dan adaptif dalam melihat setiap persoalan termasuk persoalan baru yang bisa saja muncul di luar prediksi seperti yang telah disebutkan di atas.
Menjadikan KPU sebagai lembaga panutan dan dicintai masyarakat adalah tujuan kita bersama selain tentu saja harapan kita agar KPU mampu menjadi penyelenggara Pemilu yang mandiri dan independen.
*Hasanuddin Aco: Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).