Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menguak Pemikiran Ekonomi Abu Ubayd
Abu Ubaid adalah seorang ilmuwan Islam yang memiliki nama lengkap Abu Ubaid al Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al Harawi al Azadi al Baghdadi.
Editor: Hasanudin Aco
Dalam kitab al Amwal juga dibahas terkait kepemilikan dan kebijakan di sektor pertanian. Kebijakan pertama disebut dengan Iqtha’, yaitu lahan yang diamanahkan oleh kepala negara untuk dikuasai dan dikelola masyarakat dengan mengabaikan kepemilikan masyarakat yang lain. Kebijakannya adalah mengambil kembali tanah yang diberikan, akibat ditinggalkan pemiliknya.
Kebijakan kedua yaitu Ihya al-Mawat, yaitu mengembalikan fungsi tanah-tanah yang tidak dikelola, tidak terairi,dan tidak menghasilkan manfaat.
Dalam situasi seperti ini, maka negara boleh mengambil alih tanah tersebut dengan tujuan dapat dipergunakan oleh kepentingan umum dalam rangka memberikan kemaslahatan kepada masyarakat.
Disamping kedua kebijakan lahan pertanian di atas, kitab al Amwal juga membahas tentang Hima atau perlindungan. Hima didefinsikan sebagai lahan kosong yang digunakan sebagai tempat mengembala ternak. Wilayah hima ini dilindungi oleh negara serta dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat.
Menurut Abu Ubaid terdapat dua fungsi uang yaitu uang sebagai standar dari nilai (standard of exchange value) dan uang sebagai media pertukaran (medium of exchange).
Dengan demikian, Abu Ubaid mendukung teori ekonomi tentang kedudukan uang logam yang merujuk kepada nilai emas dan perak yang sudah menjadi ketentuan umum dibanding dengan komoditas yang lain.
Selain itu, Abu Ubaid secara tidak langsung mengakui adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value) ketika adanya wajib zakat pada jumlah tabungan minimum.
Kitab al Amwal juga membahas terkait perdangan eksport dan import.
Menurut Abu Ubayd tidak ada nol tarif pada perdagangan Internasional. Pendapat ini didasarkan Abu Ubayd pada pendapat dan Ijma sahabat pada masa Umar ibn Khattab ra.
Pada saat itu Khalifah Umar ibn Khattab menetapkan cukai (usyur) yang berbeda-beda berdasarkan kelompok yang melakukan perdagangan, maliputi ahli harbi sebesar 10 persen, ahli dzimmah sebesar 5 persen dan kaum Muslimin sebesar 2,5 persen.
Dalam komoditas berupa bahan makanan pokok, Abu Ubaid berpendapat bahwa cukai minyak dan gandum adalah sebesar 5 persen sehingga barang impor berupa makanan banyak tersedia di Madinah sebagai pusat peradaban dan pemerintahan.
Abu Ubaid juga berpendapat bahwa tidak semua barang dagangan dipungut cukainya.
Ada batasan tertentu dimana kalau kurang dari batas tertentu, maka cukai tidak dipungut melainkan di catat. Apabila sudah memenuhi batasan tersebut maka barang dagangan tersebut harus dikenakan cukai.
Demikianlah sekelumit terkait pandangan ekonomi Abu Ubayd yang bisa dikaji dalam konteks masa kini.
Pandangan ekonomi Abu Ubayd yang dituliskan dalam kitab al Amwal ini adalah gagasan yang beliau berikan dalam menjalankan tugasnya di struktur pemerintahan saat itu.
Beberapa pandangan ekonominya masih relevan hingga saat ini, sementara pandangan lainnya membutuhkan penyesuaian dikarenakan perbedaan situasi dan kondisi masa kini.
Meskipun demikian pandangan-pandangan ekonomi ilmuwan muslim klasik seperti halnya Abu Ubayd ini memiliki peran penting dalam meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam yang saat ini terus berkembang.